octa vaganza
Wisata  

Fort Oranje, Torehan Kolonialisme Porto di Pulau Ternate

Semula berasal dari bekas sebuah benteng tua yang dibangun bangsa Portugis dan dihuni oleh puak Melayu, dinamai Benteng Malayo. Properti Kesultanan Ternate ini dihancurkan oleh kolonial Spanyol.

DIDIRIKAN tanggal 26 Mei 1607 oleh Laksamana VOC, Cornelis Matclief de Jonge. Dinamai Fort Oranje oleh Francois Wiltlentt pada tahun 1609, semasa pemerintahan Sultan Mudaffar di Kesultanan Ternate. Benteng ini (kini) terletak di pusat kota, di Kelurahan Gamalama, di Jalan Hasan Boesoeri, Ternate Tengah, Ternate, Maluku Utara. Di masa lalu, lokasi benteng memang berada di pinggir laut, sebagaimana lazimnya tongkrongan sebuah benteng.

Bangunan tembok benteng sangat kokoh, mengingat rentang panjang perjalanan usianya. Tembok benteng ini berbahan batu bata, batu kali, batu karang dan pecahan kaca. Di sudut-sudut tembok, para pengunjung/penyuka wisata sejarah masih dapat menyaksikan beberapa meriam asli. Senjata tersebut di masa lalu tentu saja dipakai kolonial Belanda untuk menghalau musuh yang umumnya datang dari laut, khususnya Spanyol dan Portugis.

Kedudukan benteng menjadi agak ‘bergeser’ ke tengah kota karena adanya reklamasi. Lagipula, oleh Pemerintah Kota Ternate, di bagian depan benteng ini dibuat taman kota plus lokasi pertokoan, beberapa tahun lampau. Karena lokasinya yang makin ke tengah kota itu pulalah, warga Ternate sudah lumayan lama menjadikan tempat ini sebagai permukiman. Khususnya jika melihat kondisi hunian di sekitar yang pada umumnya terdiri dari bangunan tua.

Benteng Oranye merupakan benteng terbesar di Ternate yang masih berdiri kokoh. Dibangun untuk menggantikan keberadaan Benteng Malayo milik Kesultanan Ternate yang dihancurkan oleh Spanyol. Benteng ini jelas merupakan benteng penting bagi tegaknya hegemoni Belanda di awal kekuasaan mereka di Nusantara. Sebelum dipindahkan ke Batavia, di Benteng Oranye inilah berpusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal VOC Pieter Both, Laurenz Real, Herarld Reyist dan JC Coum.

Lantai bawah dari tembok benteng, yang dulunya berfungsi sebagai penjara dan kantor satuan pengamanan VOC, dipertahankan apa adanya. Salah satu bangunan yang tampak masih layak pakai adalah bekas kantor Gubernur Hindia Belanda di bagian dalam tembok benteng, yang kini beralih fungsi sebagai kantor Dinas Pariwisata sekaligus Museum Rempah Ternate.

Pada tahun 1822 benteng ini pernah menjadi tempat pengasingan Sultan Badarudin II dari Palembang. Sultan Badarudin II meninggal pada tahun 1852 dan jenazahnya dimakamkan di Kecamatan Santiong. Peran benteng ini sangat penting karena didukung letaknya di lokasi amat strategis.Pada zamannya, benteng ini terkenal dengan kemampuannya menghadang musuh, baik dari laut maupun dari darat. Bahan baku benteng ini menggunakan kombinasi batu karang, batu kali dan pecahan kaca. Hingga kini pun sisa-sisa kemegahan Benteng Oranye seakan tak luntur.

Benteng bersejarah ini dulunya tak terurus dalam kurun waktu yang panjang. Di sana-sini pedagang kaki lima (PKL) leluasa berjualan di pelataran depan benteng. Kini, kondisi itu sudah ditata rapi oleh Pemerintah Kota Ternate, Maluku Utara. Di pelataran depan benteng dibangun taman yang pengerjaannya rampung pada Maret 2015 lalu. Taman di sana dilengkapi dengan air mancur, lampu hias, serta papan nama benteng berukuran besar berwarna jingga.

Penataan dan revitalisasi Benteng Oranye bertujuan tak lain untuk menarik sebanya mungkin wisatawan lokal ataupun mancanegara. Ternate sebagai kota historis yang dikelilingi benteng-­benteng bersejarah menjadikan penataan dan revitalisasi Benteng Oranje sebagai skala prioritas program Pemkot Ternate untuk mengembangkan industri pariwisata.

Dalam revitalisasi ini, tidak ada bentuk fisik bangunan benteng yang diubah, semuanya akan dipertahankan keasliannya. Beberapa bangunan di dalam benteng akan ditata kembali untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Bangunan yang pernah digunakan sebagai rumah sakit Polri akan ditata ulanng. Gedung eks Gubernur Jenderal dimanfaatkan sebagai Museum Rempah­-rempah. Selain itu, diadakan ruang untuk pentas seni, plaza, dan taman di bagian belakang benteng. Penataan dan revitalisasi tidak hanya dilakukan di Benteng Oranye, tapi juga benteng­-benteng lainnya, yakni Benteng Kalamata, Benteng Toloco, Benteng Kota Janji, Benteng Kastela, serta Benteng Kotanaka.

Semua situs sejarah ditata kembali agar memicu daya tarik wisatawan ke Ternate. Untuk saat ini, pemerintah fokus pada Benteng Oranye, karena benteng tersebut merupakan bukti sejarah kedatangan Bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda di bumi Ternate. Portugis mulai menduduki Ternate pada tahun 1602. Benteng ini sempat mengalami perubahan nama dan bentuk oleh Frans Wittert. Cukup lama ditinggalkan, terkesan tidak terawat dan bangunannya tampak begitu tua, sampai Pemkot Ternate mulai merevitalisasinya sebagai bangunan bersejarah pada tahun 2015.

Tujuannya supaya terlihat lebih memikat wisatawan untuk datang berkunjung. Bentuk fisik bangunan tidak diubah, tetap mempertahankan bentuk asli benteng. Beberapa bangunan di dalam benteng ditata kembali untuk kebutuhan wisata. Seperti bangunan yang pernah digunakan sebagai rumah sakit Polri, akan ditata kembali.

Perbaikan dan pembangunan di kawasan benteng terus dilakukan hingga tahun 2017. Sayangnya, pada Agustus 2017 terjadi hal yang tidak diinginkan. Yaitu robohnya tembok bagian selatan sepanjang 24 meter. Bangunan yang sedang direvitalisasi itu roboh karena kesalahan ketika melakukan perbaikan. Hal ini memunculkan berbagai reaksi, terutama para sejarawan.

“Ternate dulu terkenal lewat perdagangan rempahnya. Jadi kita ingin menghidupkan kembali kejayaan masa lalu itu, setidaknya melalui dibangunnya museum rempah,” ujar Burhan. Program revitalisasi ini didukung pula oleh Kementerian PUPR (APBN) di samping dana APBD. “Apalagi Ternate merupakan pendiri Indonesia dan tergabung dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia

Memiliki sejarah panjang diperebutkan berbagai bangsa, Ternate mempunyai banyak benteng. Khususnya jika dibandingkan dengan luas daerah pulau yang hanya 76 km². Selain Benteng Oranye, beberapa benteng lain di pulau kecil yang ditempati gunung api aktif Gamalama itu antara lain Benteng Tolluco, Kalamata, Kota Janji, Santosa, dan Takome. Ada yang telah dipugar sehingga bentuk bangunannya masih kukuh, seperti Benteng Kalamata; tapi ada pula yang hanya meninggalkan sisa-sisa.

Menarik bahwa ada kesamaan nama, bentuk dan karakteristik arsitektural antara benteng satu dengan lainnya buatan Belanda. Benteng Oranye Kota Ternate Maluku Utara dengan Benteng Oranye di kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Sulawesi. Entah apa alasan di balik kesamaan nama pada kedua benteng tersebut. Pada era kapan penamaan keduanya? Bagaimana kondisi arkeologis serta apa saja peluang bagi masa depan yang lebih baik atas keberadaan masing-masing benteng tersebut? Itu beberapa pertanyaan penting yang memerlukan pencerahan sejarawan kita.

Tembok benteng 180 x 165 meter, yang tingginya sekitar lima meter, memang masih berdiri kokoh dan anggun. Benar bahwa itu simbol ekspansionisme bangsa-bangsa Eropa kolonial masa lampau. Dan adalah bijaksana ketika kita melestarikannya untuk kemanfaatan historis, kultural dan ekonomi. Sejak 2014, proyek revitalisasi sudah digarap Pemkot Ternate, kemudian dilanjutkan pada 2017 menggunakan APBD Kota Ternate dengan nilai Rp 1.474.000.000. Naasnya, pada Minggu pagi, 20 Agustus 2017, tembok bagian selatan ambruk sepanjang 24 meter.

Tentang renovasi itu, ada sedikit catatan. Selaku Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Maluku Utara, Nur Alam menyebut pihaknya sejak awal tidak setuju dengan pembangunan kolam atau kanal pembatas pagar yang mengelilingi benteng. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan keaslian benda cagar budaya tersebut. “Bila dibangun lagi, harus menggunakan bahan-bahan aslinya. Walaupun sebagai perekat (kalau terpaksa) ya bisa saja menggunakan semen, karena dulunya menggunakan kalero, dan itu sudah tidak ada lagi,” kata Nur Alam.●(dd)

Exit mobile version