hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Festival Palang Pintu, Dari Padepokan Kemang untuk Betawi

            Dari Ciawi ke Cabang Bugin, ke Cipete lewat Semanggi… Ini budaya Betawi kudu dikembangin, kalau bukan kite siape lagi. Contoh bagus sebuah langkah kecil menyelamatkan tradisi lokal yang kian tergerus.

PALANG Pintu merupakan tradisi masyarakat Betawi. Seseorang harus membuka penghalang (palang) untuk bisa masuk ke daerah tertentu. Tradisi ini, dalam upacara jelang pernikahan, menyimbolkan ujian yang harus dilalui mempelai laki-laki ketika meminang pihak perempuan. Palang Pintu juga berfungsi untuk mendekatan hubungan antarkampung dan antarkeluarga.

Beberapa orang terlibat dalam proses tersebut. Yakni dua jagoan dari pihak perempuan, satu jagoan dari pihak laki-laki, satu orang juru pantun dari masing-masing pihak, tiga pembaca shalawat dustur, satu pembaca sike, dan tim musik yang memainkan alat musik rebana kecimpring untuk mengiringi mempelai laki-laki.

Syarat utama mempelai laki-laki mempersunting mempelai perempuan ada dua, yaitu bisa mengalahkan jawara dan pintar mengaji. Laki-laki jika berada di rumah wajib pandai mengaji agar bisa menjadi kepala keluarga yang baik, simbol pria yang bertanggung jawab. Di luar rumah, ia haruslah pandai bersilat sebagai simbol kesapannya melindungi keluarganya.

Urut-urutan ratualnya adalah pihak laki-laki memberi salam dan pihak perempuan menjawab salam dan bertanya apa maksud dan tujuannya datang. Setelah itu baru debat pantun, membaca ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan dengan adu silat. “Dulu yang memakai adat ini adalah orang-orang kaya karena perlu dana besar untuk alat musik dan lain-lainnya,” kata Edy, Pendiri Padepokan Seni Budaya Manggar Kelape dan Pencetus Festival Palang Pintu.

Tahapan-tahapan dalam menjalankan ritual Palang Pintu yaitu shalawat dustur, beklai (silat), dan lantun sike (irama melankolik bacaan Al-Qur’an). Biasanya alat-alat yang dibawa dalam acara tersebut hanya kembang kelapa dan alat atraksi silatnya seperti golok serta tim pemusik rebana kecimpring. Kostum yang digunakan juga tidak jauh berbeda seperti halnya pada acara perkawinan yaitu baju koko/sadariah dengan celana kolor panjang dan baju ujung serong pada beberapa orang palang pintu saja.

Properti untuk tradisi Palang Pintu adalah rebana ketimpring, kembang kelape, petasan, sirih dare, pantun, sikeh, dan silat Betawi. Kostum yang dikenakan para pemain palang pintu terdiri atas pakaian adat Betawi sehari-hari. Untuk laki laki adalah baju Koko (Sadariah). Baju Koko Betawi berwarna polos, di bagian bawahnya celana panjang corak batik dengan warna dasar putih, cokelat atau hitam. Sebagai aksesoris, dipakai pula pelekat berupa sarung yang ditaruh di pundak dan peci hitam.

Dalam acara seserahan harus ada roti buaya. Yang namanya buaya tuh seumur hidupnya nggak bakal ganti pasangan. Sebagaimana disebut Ustadz Abdul Somad dalam sebuah tausiyah “Buaya itu binatang paling setia, selama berada di laut.” Kenapa roti? Karena pada zaman dahulu, roti makanan paling mewah bagi orang Betawi. Hanya orang Belanda yang memakan roti. Orang Betawi hanya memakan jenis umbi-umbian seperti singkong, ubi.

Meski kini identik dengan acara pernikahan, Palang Pintu bisa pula digunakan untuk acara lain. Misalnya, penyambutan tamu dan peresmian kantor. Tiga pemain bolasepak legendaris Liverpool FC; Gary McAllister, Patrik Berger, dan Jason McAteer; pernah merasakan disambut dengan Palang Pintu dalam kunjungannya ke Indonesia sebagai bagian dari rangkaian acara LFC World Tour Jakarta. Saat itu mereka menyambangi Setu Babakan, Maret 2018.

Jika ditilik sejarahnya, Palang Pintu diduga telah ada sejak 1933. Ritual ini digunakan untuk menyambut tamu dari daerah lain. “Dahulu masih serba tradisional, kostum pun alami apa adanya. Modernnya sejak awal tahun 2000-an karena sudah ada perapihan kostum antara pemantun, pesilat dan yang lain,” ujar Edy, pegiat budaya Betawi dan pemilik padepokan di Kemang Selatan 10-A RT 3/2.

Ide festival terbetik pada tahun 2004. Edy risau menyaksikan erosi budaya di kalangan kaum  muda Betawi, khususnya di Jalan Kemang Selatan, Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Terlebih Kemang merupakan kampung ekspatriat. Berawal dari situlah Edy membangun kekuatan. Ia berjuang mempertahankan tradisi masyarakat Kemang dengan sanggar budaya bernama Manggar Kelape. “Saya inisiatif menggelar suatu event agar merajut seluruh lapisan masyarkat,” ujarnya.

Festival Palang Pintu (FPP) perdana digelar pada tahun 2005. Waktu itu, yang jadi tujuan utamanya adalah mengubah keganderungan masyarakat yang seakan terhipnotis oleh hiburan dangdut.” Kita coba ubah dengan menghadirkan hiburan asli Betawi, Lenong, lalu di tengahnya ada bazar-bazar kecil, di dalamnya ada lomba budaya, Palang Pintu sebagaii daya tarik,” ucapnya. Selanjutnya, FPP dapat digelar rutin setiap bulan Juni, hitung-hitung ikut menyemarakkan HUT Jakarta.

Pada pelaksanaan FPP tahun 2011, Anas Efendi, Wakil Walikota Jakarta Selatan saat itu, mengatakan terlaksananya festival ini merupakan swadaya masyarakat sendiri yang peduli atas kelestarian budaya Betawi. “Ini dikonsep dan dilaksanakan masyarakat. Kita (Pemerintah Daerah) hanya memberi dukungan,” ujarnya.

Dalam festival yang berlangsung dua hari itu, biasanya Sabtu dan Ahad, disajikan musik tanjidor, pencak silat, marawis, arak-arakan pengantin. Pada FPP 2014, tampil beragam acara yang kental dengan budaya Betawi seperti Karnaval Budaya, Arak-Arakan, Kuliner khas Betawi, Lenong, Funbike, Bazzar, hingga lomba Palang Pintu se-Jabodetabek yang memperebutkan Piala Gubernur DKI Jakarta. Ada juga beberapa lomba seperti Tari Betawi, Band, Mewarnai, Menggambar, serta Foto Hunting.

Pada FPP 2017,“Festival sepanjang satu kilometer (km) ini sudah bertaraf Go Internasional. Waktu itu pengunjung yang datang diperkirakan lebih dari 50 ribu orang per harinya. “Karena ini free, jadi kami agak kesulitan mendata jumlah pengunjung yang datang,” ujar Sri Rahayu Ningsih, salah seorang panitia. Pengunjung FPP berasal dari berbagai kalangan, dari masyarakat kecil hingga para turis asing yang sedang menikmati liburan di Jakarta.

Meski identik dengan Betawi, ada beberapa budaya daerah lain sempat ambil bagian di acara tahunan ini. General Manager Papua Kemang, Yuli (38), mengaku menampilkan duta Papua dengan tujuan agar masyarakat luas tahu bukan hanya kebudayaan Betawi yang bisa disaksikan di FPP 2017. Kebudayaan Papua dihadirkan dengan menampilkan pasangan Michel dan Wina sebagai Duta Papua yang mengenakan berpakaian Papua. “Saya invite mereka untuk perform di FPP ini,” ujar Yuli. Apa bedanya FPP dengan Jakarta Fair (PRJ) di Kemayoran? “Di sana apa-apa mahal. Beda jauh sama di sini. Barang-barang yang dijual di FPP sangat terjangkau. Masuknya juga nggak bayar,” ujar Bang Amu Asmuni (40). Kami, para penjual kerak telur, harus bayar Rp15 juta di satu titik untuk tiga orang, masing-masing Rp5 juta. Itu yang paling murah. Kalau di sini (Festival Palang Pintu) kita hanya bayar uang kebersihan dua hari Rp50 ribu. Ini yang namanya pesta rakyat sebenarnya. PRJ mah kejem. Nyang di sono buat orang-orang kaye doang. Buat bisnis kalau di sono mah,” ujar Bang Amu mengeluh.●

pasang iklan di sini