octa vaganza
Wisata  

Festival Lembah Baliem, Tiga Hari Geladi Resik Perang

Memotret dan mengabadikan fragmen-fragmen spesial secara gratis hanya berlaku dalam peristiwa Festival Lembah Baliem. Sebab, di hari-hari biasa, warga mengenakan ‘tarif’ jika kamera gadget anda terarah ke wajah mereka.

LEMBAH pegunungan Jayawijaya, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Suhu bisa mencapai 10-15◦ Celcius pada malam hari. Lembah ini dikenal juga dengan Grand Baliem Valley, tempat tinggal suku Dani. Posisinya di Desa Wosilimo, 27 km dari WamenaPapua. Selain suku Dani, dua suku besar lainnya hidup bertetangga di lembah ini yakni suku Yali dan suku Lani.

Panjang lembah sekitar 80 km, lebar sekitar 20 km, terletak di ketinggian 1.600-1.700 meter di atas permukaan laut. Populasinya 100.000-an jiwa. Mereka hidup dari bertani dan mengandalkan kebaikan alam. Lembah Baliem ditemukan secara tak terduga oleh ekspedisi Richard Archbold untuk New Guinea, 21 Juni 1938. Secara bertahap, Grand Valley sejak itu dibuka terbatas untuk pariwisata dengan ikon Festival Lembah Baliem.

            Salah satu yang paling menonjol adalah pakaian pria Suku Dani yang hanya mengenakan penutup kemaluan atau disebut koteka. Koteka terbuat dari kulit labu air yang dikeringkan dan dilengkapi dengan penutup kepala yang terbuat dari bulu cendrawasih atau kasuari. Sedangkan kaum perempuan Suku Dani mengenakan rok yang terbuat dari rumput atau serat pakis yang disebut sali. Saat membawa babi atau hasil panen ubi, para perempuan membawanya dengan tas tali atau noken yang diikatkan pada kepala mereka.

            Arsitektur khas dari Lembah Baliem adalah honai. Bentuknya bulat, dibuat dari papan kayu. Atapnya ilalang pilihan yang disebut siluk. Penduduk kampung menggunakan honai sebagai rumah. Honai merupakan rumah tinggal bagi laki-laki. Puak perempuan memiliki rumah tinggal tersendiri yang disebut ebeai. Begitulah tradisi mereka. Laki-laki tidak tinggal satu honai dengan perempuan, meskipun mereka suami istri. Honai dan ebeai berada di satu lingkungan, yakni berdekatan. Apabila ada keperluan, laki-laki bisa langsung datang kepada istrinya yang tinggal di ebeai.

Lembah Baliem di Wamena terletak di daerah terpencil dan sulit untuk didatangi. Begitu pula dengan kebiasaan Suku Dani yang “maaf” sangat komersial. Suku ini dikenal di kalangan wisatawan dan fotografer. Siapa pun yang ingin mengambil foto, harus membayar sejumlah uang kepada mereka. Nah, baru pada saat digelar Festival Lembah Baliem siapa pun bisa memotret dengan bebas penampilan Suku Dani.

‘Budaya’ meminta uang ini muncul dari mana? Krang jelas, tetapi dari beberapa sumber didapat keterangan bahwa kebiasaan ini muncul karena dahulu banyak turis asing dan orang-orang kaya luar negeri yang datang ke Wamena. Mereka kasihan dengan keadaan masyarakat adat yang tertinggal, baik ekonomi maupun pendidikan. Maka, para turis asing dan orang kaya tersebut sehabis memotret memberi tips.

Masyarakat pedalaman ini jadi menarik minat pengunjung, utamanya daru manca Negara, karena ritual keunikan tahunannya. Festival Lembah Baliem, FLB. Awalnya FLB merupakan acara perang antarsuku Dani, Lani, dan Suku Yali. Pada saat festival kita bisa melihat simulasi perang dan pertunjukan tarian yang mereka peragakan. Sebuah festival yang menjadi ajang adu kekuatan antarsuku. Sebagai peragaan yang telah berlangsung turun temurun, atraksi perang itu tentunya aman untuk dinikmati karena memang dikemas sebagai menu tontonan.

Untuk mencapai lokasi ini, Anda terlebih dahulu harus menjangkau Bandar Udara Sentani di Jayapura, lalu lanjut penerbangan ke Wamena (Lembah Baliem). Beberapa maskapai menyediakan penerbangan dari Jayapura ke Wamena. Di antaranya Trigana Air Service, Express Air, Wings Air, Susy Air, MAF Aviation, dan AMA Aviation. Di Wamena, tersedia beragam pilihan hotel, mulai dari hotel sekelas bintang satu hingga penginapan tradisional.

Yang istimewa, FLB dimulai dengan skenario pemicu perang—sebagaimana asal usul nya nun di masa lampau. Misalnya, penculikan warga, pembunuhan anak suku, atau penyerbuan ladang yang baru dibuka. Adanya pemicu ini memicu suku (yang teraniaya/dizalimi) harus membalas dendam sehingga mereka menyerbu menuntut balas. Namun, atraksi ini tidak menjadikan balas dendam atau permusuhan sebagai tema tetapi sebaliknya justru bermakna positif.

Festival Lembah Baliem menjadi ajang adu kekuatan antarsuku dan telah berlangsung turun temurun. Seiring berjalannya waktu, FLB tidak hanya menjadi pertunjukan perang antarsuku, tetapi juga pertunjukan budaya dan seni masyarakat Pegunungan Tengah, Papua. Atraksi perang antarsuku juga menjadi bagian paling penting dan paling dinanti-nantikan. Festival berlangsung selama tiga hari dan diselenggarakan setiap bulan Agustus. Pertama kali digelar tahun 1989.

Festival Lembah Baliem sejak dahulu kala sangat terkenal sehingga turis mancanegara rela berbondong bondong datang ke Papua khusus untuk acara ini saja. Acara Festival Lembah Baliem merupakan acara perang antar Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali. Atraksi ini bermakna positif bagi masyarakat Lembah Baliem yaitu ‘yogotak hubuluk motog hanaro‘ yang artinya ‘harapan akan hari esok yang harus lebih baik dari hari ini.

Para ahli antropologi menjelaskan bahwa perang Suku Dani lebih merupakan tampilan kehebatan dan kemewahan pakaian dengan dekorasinya daripada perang dalam arti legitimasi untuk membunuh musuh. Dengan kata lain, perang bagi Suku Dani lebih menampilkan kompetensi dan antusiasme daripada keinginan untuk membunuh. Jadi, mereka sejatinya sangat berkepentingan menonjolkan aspek aksesori dari sebuah peperangan.

Senjata yang digunakan adalah tombak panjang berukuran 4,5 meter, busur, dan anak panah. Seringkali, karena perang orang terluka daripada terbunuh, dan yang terluka dengan cepat dibawa keluar arena perang. Puncak acara adalah pertempuran antara Suku Dani, Yali, dan Lani saat mereka mengirim prajurit terbaiknya ke arena perang mengenakan tanda-tanda kebesaran terbaik mereka.

Laki-laki suku Dani biasanya hanya memakai koteka kecil, sedangkan laki-laki suku Lani mengenakan koteka lebih besar, karena tubuh mereka lebih besar. Sedangkan kaum laki-laki Suku Yali memakai koteka panjang dan ramping yang diikatkan oleh sabuk rotan dan diikat di pinggang. Suku-suku ini telah mengikuti festival perang setiap tahun sehingga acaranya semakin menarik tiap tahunnya. Jika anda mendadak datang ke sini, bisa dipastikan susah mendapat penginapan dan kendaraan (mobil saja ke sini diangkut pesawat terbang).

Yang perlu anda lakukan selama FLB berlangsung hanya mengamati dan menikmati perang sambil memotret dan merekam momen-momen spesial ritual itu. Semakin lama festival ini berlangsung, suasana peran—dengan tombak, parang, dan panah yang menghantam lawan berlangsun—semakin dekat dan seru. Terasa seakan perang tanding antarsuku benaran. Semakin banyak tombak yang meleset, semakin keras sambutan sorak sorai dari ratusan penonton.

LIMA fakta Lembah Baliem Papua berikut ini jarang orang tahu. Pertama, Pusat pendidikan agama Islam terbesar di Papua. Babi dan anjing menjadi mayoritas hewan peliharaan orangPapua. Tapi, masyarakat di Distrik Walesi menjadi pemeluk agama Islam terbesar di Tanah Papua. Walesi menjadi pusat pendidikan agama Islam bagi masyarakat Suku Dani. Di sini terdapat sebuah madrasah dan presantren yang telah berusia tua. Perbedaan agama ini tidak memicu perpecahan. Mereka hidup rukun. Islam memberi warna berbeda di Tanah Papua. Jika tradisi adat ‘bakar batu’ biasa menggunakan daging babi, Muslim di Walesi menggantinya dengan daging ayam.

Kedua, tradisi potong jari dan mandi lumpur sebagai bentuk ungkapan kesedihan. Ungkapan rasa sedih atas kehilangan sanak keluarga bagi Suku Dani di Lembah Baliem yaitu dengan potong jari (ikipalin). Seiring perkembangan zaman, aksi potong jari makin ditinggalkan. Selain potong jari, ada juga aksi mandi lumpur yang memberi makna bahwa setiap manusia yang meninggal akan kembali ke tanah.

Ketiga, di Lembah Baliem terdapat mumi milik ‘keramat’ Suku Dani yang usianya konon sudah 300 tahun. Mumi langka itu disimpan dalam pilamo (rumah laki-laki). Mumi tersebut bernama Wim Motok Mabel, yang semasa hidupnya dikenal sebagai panglima perang. Dalam kepercayaan mereka, ‘berkah’ jasad mumi mampu membawa kesejahteraan kepada seluruh anak cucu keturunan mereka.

Keempat, pasir putih tanpa pantai. Tak hanya pasir putih yang menguatkan pendapat bahwa Lembah Baliem dulunya adalah danau. Lembah Baliem juga memiliki batu-batu granit yang menyembul dari tanah. Konon, kawasan ini dulunya memang sebuah danau. Setelah gempa, terjadilah perubahan alam akibat lempeng-lempeng bumi yang bergeser.

Kelima, Pesta bakar batu bukti kerukunan. Ini merupakan perayaan atau pesta yang dilakukan Suku Dani menyambut kelahiran, pernikahan, upacara kematian, syukuran, atau euforia setelah perang. Uniknya, api yang dibuat tidak menggunakan korek api, melainkan dengan menggesek-gesekkan 2 kayu hingga menimbulkan api, yang lantas digunakan untuk membakar batu. Batu disusun di atas tumpukan daun yang selanjutnya diletakkan ubi atau babi untuk dimasak. Kegiatan bakar batu menuntut gotong royong yang solid. Di sinilah bentuk kerukunan Suku Dani terwujud sangat kental. (M. Fauzian)

Exit mobile version