Perang antarsuku di tanah Papua sesekali masih terdengar. Di Lembah Baliem, ‘tradisi’ kurang elok itu diangkat jadi festival tahunan. Cukup populer di kalangan wisman. Atraksi budaya bernuansa zaman batu ini tetap menebar pesona.
FESTIVAL Lembah Baliem (FLB) menyapa pengemarnya tiap Agustus. Atraksi peperangan dan tari-tarian penduduk asli, dengan segala kelengkapan atribut orisinalitasnya. Lokasinya tak mudah dijangkau. Nun di kejauhan lembah di Pegunungan Jayawijaya. Namun, patut diingat, inilah festival etnis tertua di jantung Pulau Papua. Mulai go public sebagai ekspresi budaya sejak 1989, tiga dekade silam.
Pada mulanya, festival ini merupakan atraksi perang antarsuku Dani, Lani, dan Yali. Perang ditampilkan sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan. Tampaknya semacam rasa syukur atas pemberian (hasil) bumi. Festival ini mengekspresikan ajang adu kekuatan antarsuku yang telah berlangsung turun temurun. Dalam formatnya teranyar, sebagai atraksi, tarian perang itu tentulah aman untuk anda nikmati.
Festival Lembah Baliem merefleksikan acara perang antarsuku. Aslinya, perang yang ditandai dengan silang siur anak panah memang inheren dengan kultur masyarakat. Selain tari perang, paket festival menyuguhkan pertunjukan musik tradisional menggunakan pikon, karapan babi, aksi teatrikal, lomba panahan dan lempar tombak. Pemangku hajat bahkan menyuguhkan permainan Sikoko dan Puradaan, peragaan memasak dengan cara tradisional, dan pameran kerajinan tangan masyarakat suku adat.
Nuansa kehidupan zaman batu yang ‘bertolak belakang’ dari peradaban modern juga terasa kental di sana. Para wisatawan, jika berminat, dipersilakan mengenakan pakaian adat macam koteka. Juga bisa merasakan tinggal di dalam honai, ikut memasak dengan cara bakar batu, atau membaur menari ke dalam tarian perang warisan nenek moyang ratusan tahun. Festival ini secara lentur memfasilitasi para turis untuk berinteraksi dengan masyarakat indigenous.
Popularitas acara tradisi adat ini boleh jadi lebih dikenal masyarakat mancanegara ketimbang di dalam negeri. Rentang waktunya selama tiga hari, yang diselenggarakan setiap bulan Agustus. Momennya digandengkan dengan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Festival tahunan itu bisa digelar 7-9 atau 8-10 Agustus, atau setelah peringatan hari jadi NKRI. Gelar perdana pada tahun 1989. Lokasinya di sebuah tanah lapang di kaki perbukitan di Distrik Walesi, Wamena, Jayawijaya, Papua. Di perkampungan Suku Dani di Lembah Baliem, memang.
FLB melibatkan perwakilan 40 distrik dari seluruh Wamena. Tak hanya atraksi perang adat, mereka juga menampilkan tarian, nyanyian, dan musik tradisional. Para perwakilan distrik itu berasal dari ketiga suku (Dani, Lani, dan Yali0 tadi. Baik laki-laki dan perempuan, sama-sama bertelanjang dada. Lelaki mengenakan koteka, penutup alat kelamin tradisional. Wajah mereka berhias pernak-pernik tradisional seperti taring babi (wamaik) dan kalung yang disebut mikak.
Adapun, kelompok perempuan dari tiga suku itu mengenakan rok tradisional serta berkalung noken. Kemeriahan tersembur ketika berkombinasi dengan ritme tarin yang eksplosif. “Kostum mereka sangat indah. Tarian dan atraksinya beragam, setiap suku menampilkan hal yang berbeda. Performance yang mengesankan,” kata Susan Boxall, wisman asal Bristol, Inggris. Ini pengalaman pertama Susan menghadiri Festival Lembah Baliem. Ia menghabiskan setidaknya lima hari sejak terbang dari London, transit di Singapura, Makassar, Biak, dan Jayapura.
Lembah Baliem berada di ketinggian 1.600 meter dpl. Lokasinya dikelilingi pegunungan dengan pemandangannya indah, genuine alami. Suhu bisa mencapai 10-15º Celsius pada waktu malam. Dipagari Pegunungan Trikora, Lembah Baliem, menyimpan keindahan alam perawan khas Papua. Sebelum sampai ke sana, sajian elok alami lainnya tersaji lewati Danau Habema, yang juga dikenal dengan sebutan Danau di Atas Awan.
Untuk mencapai lembah yang eksotik ini anda harus mencapai Jayapura terlebih dahulu. Untuk mencapai ibu kota provinsi ini, tersediaa cukup banyak pilihan penerbangan. Misalnya, Trigana, MAF, AMA, Yajasi, Manunggal Air, atau pesawat Hercules. Satu hal, perlu tekad bulat dan kesiapan mental untuk menyatroni FLB.
Hal lainnya, anda jangan kaget bila di Wamena menemukan harga apa pun sedemikian tinggi. Untuk makan di warung papan bawah, misalnya, anda kudu merogoh kocek sekitar dua kali lebih mahal dibanding harga warteg di Jakarta. Harga komoditas apa pun di Wamena jauh lebih tinggi daripada di tempat lain. Soalnya, semua barang didatangkan melalui udara. Kota kecil ini belum punya hubungan darat dengan tempat lain, termasuk dengan ibu kota Papua, Jayapura.
Lembah Baliem terletak di daerah terpencil dan tak gampang didatangi. Begitu pula dengan kebiasaan Suku Dani yang, maaf, cenderung komersial. Kalangan wisatawan dan fotografer, untuk mengambil foto, harus membayar sejumlah uang kepada mereka. Bagaimana ceritanya? Ini terkait dengan charity para pengunjung di periode awal. Ada pemberian sebagai unjuk simpati. Toh tak mudah bertahan hidup di alam yang relatif tanpa aksesibilitas. Tapi, belakangan, mereka mengubahnya menjadi model transaksional.
Terbatasnya hotel dan kendaraan yang ada di sini, apalagi pada saat festival, membuat hotel di Wamena penuh tamu dan sangat susah mencari penginapan. Jika anda ingin mengunjungi Wamena pada saat festival, saran terbaik yang seyogianya anda setujui adalah ikut trip. Anda jadi leluasa menikmati rangkaian acara, tanpa harus repot-repot memikirkan aksesibilitas akomodasi dan memastikan keperluan personal lain yang memang tak mudah memperolehnya di wilayah jantung Papua.●(dd)