DUA hal fenomenal kinerja ekonomi kabinet kerja kerja kerja digarisbawahi Djoko Edhi S Abdurrahman, Ketum Indonesian Tax Watch. Yakni bikin utang Rp4.000 triliun dalam tiga tahun berkuasa, dan menciptakan angka ICOR hingga 6.0. Menurut Kemenkeu, jumlah outstanding utang pemerintah hingga akhir Desember 2017 adalah Rp3.938,7 triliun atau 29,2% terhadap PDB.
Berbagai skema pembiayaan melalui utang tersebut umumnya (ironisnya) untuk membangun sarana infrastruktur. Butuh dana tak sedikit demi mengibarkan proyek ambisius ala Joko Widodo-Jusuf Kalla itu. Fulus cash-nya, selain dari utang luar negeri (ULN), dikeruk dari APBN, program Tax Amnesty, ORI, dan sukuk (obligasi berdasarkan prinsip syariah).
Adapun angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) muncul dari tulisan Christianto Wibisono. Angka ICOR yang 6.0 itu mestinya 2.0. Ini gawat darurat. Sepanjang rezim Soeharto, angka ICOR tertinggi 3.0; akibat korupsi, ekonomi rente, dan oligopoli. ICOR 6.0 artinya 60% kebocoran pembangunan. Kongkretnya, korupsi dan rentenya naik dua kali lipat dibanding era Orba.
ICOR sendiri mungkin cuma dalil-dalil matematika analisis hubungan yang untuk banyak orang tak nyata. Subtansi ICOR adalah nisbah inefisiensi pembangunan. Di posisi ICOR 6.0, semuanya bulshit. Sebab, ICOR tak bisa berdusta. Dengan angka ICOR 6.0, menjadi hoax cerita multiplier effect yang digembar-gemborkan pemerintah, termasuk proyek dari OBOR Cina dan Meikarta James Riyadi yang Rp 743 triliun itu.
Dalam bahasa lugas, ULN Rp4.000 T (dan potensial bertambah) artinya “Setiap manusia Indonesia menanggung beban utang Rp13 juta,” sebut Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Dengan apa itu dibayar? ‘Menjual’ pulau seperti dia isyaratkan? Dalam pola reguler, berapa puluh tahun bisa dilunasi? Masuk akal jika kemungkinan Indonesia kolaps seperti Yunani dan Venezuela bisa terjadi. Lebih buruk dari itu, aset vital negara terjual, seperti diderita Sri Lanka.
Sri Lanka jadi negara Asia pertama yang terjerembab ke dalam perangkap investasi Cina. Dilumpuhkan dengan utang yang menggunung. Hingga, 70% saham pelabuhan Hambantota dilego dengan harga US$1,12 miliar kepada Merchants Port Holdings, perusahaan Cina, 2016 lalu. Selain bikin pelabuhan dan Bandara Internasional Mattala tanpa Amdal, korporasi Cina juga membangun jalan raya besar yang nihil manfaat buat rakyat.
Venezuela, seperti diakui Presiden Nicolas Maduro, tak berdaya bayar utang dan berakibat default. Utang mereka US$65 miliar dalam obligasi yang berdenominasi mata uang asing, mayoritas dalam dolar. Termasuk kepada Cina dan Rusia. Parahnya, mereka tengah didera krisis berat kemanusiaan. Rakyat kekurangan bahan pangan dan obat-obatan. Mata uang bolivar hanya setara sepersepuluh penny AS.
Padahal, untuk memperoleh kesepakatan jadwal pembayaran (dan) utang baru, perlu berkeringat darah. Argentina, misalnya, kudu berjibaku di pengadilan AS selama 15 tahun. Apa mau berakrobat menempuh jalan berduri seperti itu? Monggo.
Salam,
Irsyad Muchtar