DEPOK—-Hampir dekade sudah Etty K Rosidin berkiprah di Sanggar Jenggala Manik yang didirikannya untuk melestarikan seni budaya Sunda di kalangan generasi milenial. Tekad perempuan kelahiran 1957 ini ialah agar seni tari, gamelan, wayang golek hingga (menyanyikan) tembang dan kawih dari Priangan tidak punah.
“Alhamdullilah untuk menari, minat generasi muda masih ada. Permintaan manggung hingga Februari lalu untuk berbagai event dan pernikahan terus berdatangan. Hanya saja untuk rengerasi nembang dan kawih hampir tidak ada,” ujar perempuan bernama asli Tikaesih ini kepada Peluang, Kamis (14/2/2019).
Sekalipun secara fisik Sanggar Jenggala Manik vakum, namun orderan untuk menari tetap lancar. Etty hanya tinggal menghubungi para penari binaannya yang berjumlah hingga 20 orang dengan rentang usia 20-30 tahun.
Etty sendiri mengaku berasal dari Ciamis, kemudian merantau ke Depok pada 1982. Sekalipun dari kecil mengenal nembang, tetapi ia baru belajar justru pada usia 30 tahunan, yaitu pada 1988 dari seorang penembang RRI di Jakarta.
“Saya pernah ikut lomba se-Jabodetabek pada 1988 namun gagal, baru berhasil pada 1989, 1991 dan 1993. Dulu saya aktif ikut menyanyi tembang dalam berbagai acara, kini hanya sebagai MC untuk upacara adat,” tutur Etty.
Dalam menjalankan pesanan, Etty mementingkan kualitas. Kalau ada tiga job dalam satu hari, hanya satu yang dipilih.
“Saya harus hadir memastikan acara sesuai dengan trek, daripada ambil tiga, tetapi yang memimpin di acara lain tidak sesuai dengan pakem. Yang jatuh adalah nama,” terang dia.
Dia berharap agar keterlibatan generasi muda untuk melestarikan budaya daerahnya bisa dimulai sejak sekolah dengan dimasukan ke ekstra kurikuler.
Dia mengingatkan kalau penyanyi belajar nembang lebih dahulu untuk pindah ke genre lain lebih mudah. Memang tidak mudah belajar tembang Cianjuran, kawih, pupuh dan sinden, sebab cengok Sunda harus fasih.
“Lesti itu dasarnya tembang, hingga pindah ke dangdut bagus. Penyanyi tembang juga kalau pindah ek keroncong bagus,” pungkas dia (Irvan Sjafari)