JAKARTA—-Selama 2020 ekspor sarang burung walet (SBW) menembus 1,1 ribu ton. Dari jumlah itu sebanyak 262 ton ke Tiongkok atau sekira 23 persen. Sementara sebanyak 77 persen menyebar ke 22 negara, di antaranya Amerika Serikat, Australia, Hongkong.
Kepala Badan Karantina Pertanian Ali Jamil mengakui tren ekspor komoditas SBW menunjukan tren yang baik nselama kurun waktu lima tahun terakhir. “SBW menjadi ikon baru ekspor asal pertanian,” ucapnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/2/21).
Dia menyitir data BPS yang menyebutkan ekspor pertanian pada Januari 2021 tumbuh 13, 91% dan yang menjadi salah satu penyumbang terbesar adalah SBW yang tergolong dalam komoditas aromatik, rempah dan hasil hutan menjadi penyumbang terbesarnya.
Sementara Ketua Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI) Boedi Mranata menuturkan proses menembus pasar Tiongkok membutuhkan waktu yang panjang.
“Agar bisa menembus pasar ekspor, diperlukan niat yang sungguh-sungguh dan kepatutan yang tinggi agar memenuhi standar keamanan pangan internasional,” kata Budi.
Otoritas Tiongkok termasuk ketat, mereka sudah menerapkan teknologi barcode untukl bisa melakukan penelusuran. Hanya saja saat ini ekspor SBW baik ke Tiongkok maupun negara lain berjalan lancar dan tidak dipelrukan lagi aturan baru menghambat.
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Barantan Agus Sunanto menyebutkan pihaknya mendukung pelaku usaha yang memiliki minat dan kemampuan untuk memasuki pasar Tiongkok
“Disituasi pandemi pihak GACC belum dapat melakukan audit langsung ke Indonesia. Dan meminta otoritas Indonesia dalam hal ini Barantan untuk memverifikasinya,” tutur Agus.
Saat ini telah ada 23 eksportir yang telah diregiatrasi oleh Tiongkok dan 13 eksportir baru yang dalam proses audit. Prosesnya sejak 2019 oleh pihak otoritas setempat, namun terhenti akibat pandemi pada 2020.
Kini pihak Tiongkok meminta untuk melanjutkan proses auditnya. Termasuk pengisian tambahan kuesioner dan pembuatan video rumah walet dan tempat pemrosesan dengan Bahasa Mandarin.
“Semua proses kami lakukan dengan virtual. Tidak ada pembatasan atau kuota ekspor untuk pasar Tiongkok, yang ada adalah kesesuaian jumlah produksi dengan kapasitas produksi,” pungkas Agus.