Kenaikan nilai ekspor sawit sebesar 11% berbanding terbalik dengan penurunan produksi dan konsumsi.
Industri sawit nasional menghadapi tantangan yang cukup kompleks sepanjang tahun lalu. Meski nilai ekspornya meningkat namun berarti kondisinya baik-baik saja. Ini terlihat dari produksi dan konsumsi yang justru menurun dibandingkan tahun sebelumnya karena beragam faktor.
Pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah pada 28 April -23 Mei 2022, harga pupuk yang tinggi dan rendahnya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dan cuaca ekstrem basah yang mengganggu aktivitas serangga penyerbuk berkontribusi dalam menekan produksi sawit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, kinerja industri sawit dalam empat tahun terakhir cenderung stagnan. “Tahun ini paling tidak normal, mudah-mudahan ini bisa kita manage sehingga dinamika yang terlalu bergejolak seperti itu tidak terjadi lagi di tahun ini, khususnya ekspor dan produksi,” kata Joko dalam Konferensi Pers Kinerja Industri Minyak Sawit 2022, 25 Januari 2023, di Jakarta.
Data GAPKI menyebutkan, pada 2022 tercatat produksi crude palm oil (CPO) sebesar 46,729 juta ton, turun sebesar 0,3% dari 2021 yang mencapai 46,888 juta ton. Sedangkan crude palm kernel oil (CPKO) naik tipis sebesar 2,4% menjadi 4,519 juta ton di 2022 dari tahun sebelumnya 4,412 juta ton.
Volume ekspor CPO sebesar 30,803 juta ton di 2022, turun 8,5% dari 2021 yang sebesar 33,674 juta ton. Meski volume ekspor turun, namun nilainya justru naik karena melonjaknya harga minyak sawit di pasar internasional. Nilai ekspor produk sawit (CPO, olahan, dan produk turunannya) tercatat sebesar US$39,28 miliar setara Rp608 triliun (asumsi kurs Rp15.500), atau naik 11% dari 2021 senilai US$35,3 miliar.
Untuk konsumsi dalam negeri tumbuh menjadi 20,968 juta ton dibanding 2021 hanya 18,422 juta ton. Konsumsi didominasi industri pangan sebesar 9,94 juta ton dari yang sebelumnya 8,95 juta ton. Industri oleokimia naik dari 2,13 juta ton di 2021 menjadi 2,19 juta ton di 2022. Ditambah dengan konsumsi biodiesel yang mencapai 8,84 juta ton pada 2022 dari yang sebelumnya 7,34 juta ton.
Joko menambahkan, pada tahun ini sejumlah kondisi yang memengaruhi kinerja industri sawit tahun lalu masih akan berdampak. “Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban biodiesel B35 mulai 1 Februari 2023,” katanya.
Dukung Bursa Sawit Indonesia
Pada kesempatan yang sama, pengusaha sawit mendukung rencana pemerintah untuk mendirikan bursa komoditi sawit di Indonesia. Pasalnya meski Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia namun harga jual CPO masih mengacu pada dua bursa di luar negeri yaitu Bursa Rotterdam dan Bursa Malaysia (MDEX).
Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga mengatakan, pendirian bursa komoditi khusus sawit yang digagas Kementerian Perdagangan akan berdampak positif bagi Indonesia karena akan memberi kepastian harga sawit di dalam negeri. “Ide bursa sawit itu positif bagi kita namun harus diurus oleh pihak independen, pebisnis sawit jangan mengurus bursa,” ujar Sahat.
Seperti diketahui, sebelumnya Kementerian Perdagangan mengutarakan rencana untuk mendirikan bursa komoditi khusus sawit agar Indonesia bisa memiliki harga acuan sendiri. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menargetkan bursa tersebut dapat berdiri pada Juni tahun ini.
Alasan pendirian bursa sawit, kata Mendag, selama ini Indonesia selalu berpatokan ke Malaysia yang lebih dulu memiliki bursa komoditi sawit. Padahal, Indonesia merupakan produsen terbesar sawit dunia.
“Masa kita patokan ke negara tetangga, padahal produksi kita paling besar. Dengan segala kewenangan, kita usahakan sebelum Juni sudah punya,” kata Zulkifli di hadapan jurnalis di Jakarta.
Nantinya, proses pendirian bursa sawitmenjadi tanggung jawab Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Mendag meminta agar Bappebti dapat segera merealisasikan keinginan pemerintah untuk memiliki bursa sawit sendiri.
Dengan adanya bursa tersebut, nantinya ada kepastian harga sehingga tidak lagi bergantung pada harga di luar negeri yang. Sebab kadang kala situasi di luar negeri berbeda dengan dalam negeri. Ambil contoh, saat permintaan tinggi namun bursa Rotterdam harganya rendah. Ini tentu merugikan pengusaha sawit Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung juga mendukung adanya bursa sawit di dalam negeri.
“Paling tidak melirik, kita nggak usah ngekor. Dengan harga berjangka itu akan mempermudah kami menerjemahkan harga sesungguhnya. Kiblat kami selama ini harga KPBN, Rotterdam dan Malaysia yang tidak memberikan kepastian cukup kepada kami,” ujarnya.
Ia mendorong agar pemerintah bisa cepat merealisasikan bursa sawit ini. Karena sudah sejak lama Indonesia sebagai produsen sawit terbesar hanya mengacu dari harga negara lain. Adanya bursa sawit Indonesia diyakini dapat merangsang petani sawit untuk lebih produktif. (kur).