Jakarta (Peluang) : Beban utang ini akan menjadi tantangan yang berat bagi kepemimpinan Presiden berikutnya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini menyebut, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak tahun 2014 hingga November 2022 mengalami lonjakan hingga 189,5 persen.
Didik memaparkan, di tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) menjabat pada tahun 2014 utang pemerintah sudah menyentuh Rp 2.608,78 triliun. Dan saat itu, SBY dihajar habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya.
“Kini posisi terakhir utang pemerintah terus membengkak di November 2022 sudah menyentuh Rp 7.554,25 triliun,” ungkap Didik pada diskusi publik INDEF bertajuk “Catatan Awal Tahun Indef 2023” secara virtual, Kamis (5/1/2023).
Dengan besarnya utang tersebut, Didik menilai Presiden Jokowi akan mewariskan utang belasan ribu triliun kepada pemimpin-pemimpin berikutnya di tahun 2024.
“Saat ini Rp 7.500 triliunan kalau ditambah BUMN Rp 2.000-3.000 triliun, maka total utang pemerintah berpotensi tembus Rp10.000 triliun.Itu belasan ribu triliun utang yang diwariskan pada pemimpin di masa datang. Saya banyak teriak soal ini, tapi tidak diperhatikan,” tukas Didik.
Membengkaknya utang tersebut menurut Didik, berimplikasi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 akan habis untuk membayar utang tersebut.
Seperti diketahui, utang hingga November 2022 tercatat Rp 7.554,25 triliun atau setara dengan 38,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Posisi utang tersebut bertambah Rp 57,55 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang pada Oktober 2022 yang sebesar Rp 7.496,7 triliun.
Didik mengatakan, lonjakan utang yang sangat tinggi akan berimplikasi pada beban berat yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa depan.
“Implikasinya ke APBN, ke depan akan habis untuk bayar utang dan utang masih banyak,” kata Didik.
Didik menegaskan membengkaknya utang tersebut menurut Didik, karena buruknya sistem politik di Indonesia, sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk. Salah satu contohnya adalah saat masa Covid-19, pemerintah secara otoriter mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memperlebar defisit anggaran. Dari momen inilah yang menjadikan utang pemerintah makin besar.
“Awal Covid-19 itu sumber justifikasi krisis otoriter dilakukan dan DPR. Itu dia nggak bisa apa-apa dengan Perpu. DPR nggak diberikan kekuasaan apa-apa,” tegas Didik.
Lebih lanjut, Didik menyatakan bahwa ekonomi dan politik sebetulnya tidak bisa dipisahkan. Ada pernyataan bahwa 90 persen dari ekonomi adalah politik, dan begitu sebaliknya 90 persen dari politik adalah ekonomi. Hal itu tercermin dari kebijakan APBN, dan lainnya.
Sehingga menurut Didik, yang menjadi masalah adalah adanya kemunduran pada dunia politik di Indonesia, terlalu banyak kongkalikong. Sehingga membuat fungsi check and balance di DPR menjadi sangat lemah.
“Jadi, ekonomi dan politik itu tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan keuangan kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi kita semakin mundur,” kata Didik.
Lebih lanjut, Didik mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2022 pendapatan negara mencapai Rp 2.626,4 triliun atau tumbuh hingga 115,9 persen dari target sebesar Rp 2.266,2 triliun. Kinerja ini bahkan tumbuh 30,6 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Capaian tersebut tidak terlepas efek positif dari naiknya harga komoditas. Hal ini mendorong meningkatnya penerimaan pajak, bea dan cukai hingga PNBP yang melampaui target.
Belanja negara di Desember 2022 tercatat Rp 3.090,8 triliun. Alhasil, pemerintah berhasil menekan defisit APBN menjadi sebesar Rp 464,3 triliun atau 2,38 persen dari PDB, dari proyeksi awal dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 tahun 2022 sebesar Rp 840,2 triliun.
Didik menyebut, penerimaan negara yang tinggi karena dunia runtuh dari kenaikan harga komoditas di pasar global. Ini mendorong peningkatan penerimaan negara. Namun hanya 2-3 tahun dan akan kembali lagi normal. (S1).