JAKARTA—Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengkritisi keberadaan Kartu Prakerja yang digulirkan dalam masa pandemi Covid-19. Kebijakan ini hanya menguntungkan perusahaan startupdigital yang jadi mitra Kartu Prakerja.
“Kartu Prakerja tidak tepat sasaran karena hampir 40% tenaga kerja Indonesia berpendidikan rendah yang tak melek teknologi,” ujar Nailul dalam diskusi daring (online) Indef, Rabu (22/4/20).
Dia juga mengungkapkan, sekitar 62% tenaga kerja ini generasi non milenial yang tak identik dengan digital. Pengguna konsep kursus daring terkendala akses internet di Indonesia tak merata.
“Mereka yang berada di daerah pedesaan tidak bisa memanfaatkan Kartu Prakerja untuk pelatihan dan peningkatan skill,” cetus Nailul.
Peneliti Indef ini juga menyoroti penyaluran dana melalui e-wallet atau dompet digital. Tak semua calon penerima dana Kartu Prakerja memiliki dan paham mengenai dompet digital.
Sejauh ini pengguna dompet digital terbesar adalah kaum milenial dan masyarakat menengah ke atas.
“Pertanyaannya
adalah apakah semua orang yang butuh Kartu Prakerja harus punya dompet digital?
Apakah orang miskin harus beli hape dan download e-wallet dulu baru bisa dapat
bantuan?” tegas Nailul.
Kartu Prakerja dinilai hanya akan menguntungkan pihak aplikator. Bahkan
masing-masing platform digital atau mitra Prakerja bisa mendapatkan Rp457
Miliar. Artinya total dana Prakerja yang masuk ke kantong aplikator adalah
sebesar Rp3,7 Triliun.
Berdasarkan data Indef, dari Rp700 miliar dana yang didapat, setiap mitra
aplikasi hanya akan menghabiskan dana Rp243 Miliar dengan asumsi rata-rata
pembuatan video untuk kursus daring sebesar Rp33,75 Juta, setiap mitra memiliki
10 kelas Prakerja, per kelas memiliki 6 materi, setiap materi berdurasi 120
menit, dengan total menit video untuk program kartu prakerja sebanyak 7.200
menit.
“Lebih bijak apabila keuntungan aplikator tersebut dialokasikan kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan,” pungkas Nailul.