Bagi orang Balantak di Banggai, Sulawesi Tengah, empat hal dianggap unsur paling penting dalam kebudayaannya. Keempat hal tersebut adalah martabat, kekeluargaan, keteraturan sosial, dan kemurahan hati.
SUKU Banggai terdiri dari dua kelompok. Yaitu suku Banggai Kepulauan yang mukim di Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), dan suku Sea-sea (atau suku Banggai Pegunungan) yang menghuni daerah pegunungan di Kabupaten Banggai. Kabupaten Bangkep satu-satunya kabupaten maritim di Sulawesi Tengah. Wilayahnya terdiri dari 123 pulau.
Dengan 123 pulau itu, Bangkep memiliki area daratan 3.160,46 km² dan wilayah laut 18.828,10 km² yang terdiri dari 12 kecamatan di Pulau Peleng, Pulau Banggai, dan pulau-pulau kecil lainnya. Lima pulau berukuran sedang adalah Pulau Peleng (luas 2.340 km²), Pulau Banggai (268 km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Salue Besar (84 km²), dan Pulau Labobo (80 km²). Adapun 118 lainnya pulau-pulau kecil.
Di Kabupaten Banggai, Suku Balantak mukim menjadi salah satu kelompok suku besar bersama dua suku bangsa lainnya, yaitu Suku Banggai dan Suku Saluan. Sedangkan di Provinsi Sulteng, Balantak menjadi satu dari 12 etnis atau suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut. Etnis yang dimaksud adalah Kali, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Banggai, Buol, dan Tolitolo.
Masyarakat Balantak memiliki dua subsuku bangsa, yakni orang Tanoturan dan Dale-Dale. Sebagian besar masyarakat Balantak di Banggai tinggal di bagian semenanjung ujung Sulawesi Tengah. Balantak berasal dari kata “Bala” (pagar atau benteng) dan “Tak” (kita). Balantak berarti “pertahanan kita”. Mereka mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Khususnya komoditas kelapa.
Bagi orang Balantak, ada empat hal yang dianggap unsur paling penting dalam kebudayaannya. Keempat hal tersebut adalah martabat, kekeluargaan, keteraturan sosial, dan kemurahan hati. Dalam urusan kekeluargaan, masyarakat Balantak terbilang memiliki ikatan yang erat. Semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu perwujudan hal tersebut.
Sangat banyak tradisi masyarakat yang menarik. Tradisi-tradisi dalam masyarakat pun sedemikian beragam. Antara masyarakat yang tinggal di tepian pantai dan masyarakat yang tinggal di pedalaman akan memperlihatkan suatu gambaran yang jauh berbeda. Dari kesenian, upacara adat, hingga kehidupan adat sehari-hari pun tidak banyak menunjukkan kesamaan di antara keduanya.
Mata pencaharian pokok masyarakat Banggai bertanama ubi-ubian di ladang, di samping meramu sagu, berburu dan memetik hasil hutan seperti rotan, damar dan madu. Di awal abad ini mereka baru mengenal padi, jagung, dan tanaman palawija. Mereka juga menanam tanaman komoditas seperti tembakau, kelapa dan cengkih.
Kehidupan kekerabatan masyarakat Banggai dipengaruhi oleh kesatuan sosial yang mereka sebut basalo, yaitu kelompok kekerabatan bilateral yang memiliki wilayah adat, upacara religi dan warisan nenek moyang bersama. Sekarang orang Banggai menganut agama Islam atau Kristen. Walaupun begitu, masih bisa ditemukan bentuk kepercayaan lama, yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Kepercayaan asli mereka meyakini adanya roh nenek moyang dan kekuatan gaib di sekitar alam dan kehidupan. Kekuatan adikodrati itu ada yang disebut batanas, yaitu kekuatan dari roh kerabat yang sudah meninggal, pali, yaitu kekuatan roh plasenta atau ari-ari saudara atau anak, mboali yaitu kekuatan dari kawah atau perut bumi, dan bapani sebagai kekuatan yang terdapat dalam darah haid wanita untuk menghadapi ilmu sihir.
Di pedalaman terlihat penanaman sejenis umbi khas, umbi satu-satunya di dunia yang hanya terdapat dan berasal dari Banggai. Masyarakat luar mengenalnya dengan nama Ubi Banggai. (Dioscorea). Ubi yang khas ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bangkep. Soalnya, selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok, spesies endemik dari Kabupaten Banggai ini juga berkait erat dengan tradisi masyarakat asli di sana. Ubi ini termasuk tanaman langka karena hanya bisa dijumpai di Pulai Banggai. Di pulau ini, masyarakat membudidayakannya dengan baik. Ubi Banggai banyak terdapat di Kecamatan Banggai dan Lainang.
Bentuknya mirip dengan ubi jalar dan ubi kayu. Rasanya seperti percampuran antara ubi jalar dan singkong. Tapi ukurannya tergolong besar. Ubi ini bisa dinikmati dengan cara digoreng, direbus, atau dijadikan camilan. Bisa juga diolah menjadi tepung. Dan tepungnya bisa diproses menjadi kue, brownis, dan panganan lain, seperti payot, yang merupakan kuliner khas dari Bangkep. Panganan khas ini biasa terhidang pada acara ritual tradisi Banggai.
Ubi Banggai tumbuhnya menjalar ke atas, tidak seperti ubi rambat yang merambat di atas tanah. Sehingga para petani harus mendirikan cabang-cabang kayu hutan sebagai media membelit (lanjaran). Sama seperti ubi lain, umbi dari ubi Banggai tersembunyi di dalam tanah. Untuk menanamnya, penduduk menggunakan bejik, sejenis tongkat kayu yang ujungnya diruncingkan, guna mengorek tanah.
Dioscorea sp digunakan sebagai makanan basis karbohidrat bagi penduduk Banggai dan Luwuk. Di dua kabupaten itu dihuni tiga suku, yakni suku Banggai (Bangkep), Saloan dan Balantak (Luwuk). Memang ada juga umbi-umbian lain, tapi hanya ubi Banggai yang jadi makanan pokok. Sedangkan dolungan dimanfaatkan sebagai sayuran.
Ubi Banggai mirip dengan ubi Jawa tapi berbeda dalam hal ukuran daun yang relatif lebih kecil. Menurut riwayat, ubi Banggai dibawa oleh keluarga Raja Ternate yang terusir. Raja ini bermigrasi ke Banggai Kepulauan dan jadi penguasa di sana. Untuk kondisi tanah di Bangkep yang berpasir, tanaman yang cocok tumbuh adalah umbi-umbian. Kebiasaan menikmati umbi di Ternate dibawa ke Bangkep oleh keluarga raja.
Pada zaman Kerajaan Banggai, ubi ditanam dengan ritual yang dinamakan Bapidok. Usia idealnya adalah 6 bulan bisa dipanen. Hasil panen pada umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Pasar tradisional yang lazim memperdagangkan ubi Banggai terdapat di Kecamatan Toli, Bamtui, Kintom, Luwuk, Mendono, dan Buwon.●(dd)