Peluang News, Jakarta – Perkembangan transformasi digital, khususnya layanan keuangan berbasis teknologi terus berkembang pesat dan harus berkontribusi positif terhadap ekonomi.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hasan Fawzi menyampaikan, perlunya peningkatan literasi keuangan digital sebagai fondasi dalam membangun Indonesia yang lebih produktif.
Bahkan, berdasarkan survei Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2024, indeks literasi dan inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 65 persen dan 75 persen.
“Yang berarti meskipun akses terhadap layanan keuangan semakin luas, pemahaman masyarakat terhadap risiko dan manfaatnya termasuk penggunaannya melalui media digital masih terbatas,” ungkap Hasan.
“Jadi, di sinilah pentingnya literasi keuangan digital yang berperan sebagai fondasi dalam membangun Indonesia produktif harus terus ditingkatkan, karena tanpa pemahaman yang memadai, transformasi digital yang seharusnya dimaksudkan untuk mempermudah justru dapat menimbulkan tantangan baru,” tambahnya.
Menurut Hasan, salah satu langkah yang tepat dalam meningkatkan literasi keuangan digital adalah dengan memastikan karakteristik produk dan layanan keuangan digital yang dibutuhkan.
Selain itu, memastikan produk dan layanan keuangan digital tersebut memiliki izin dari otoritas yang berwenang dan benefit yang ditawarkan masuk akal tanpa ada indikasi penipuan atau legal dan logis (2L).
Lebih lanjut, ia berpesan agar dalam memilih produk dan layanan keuangan digital, masyarakat/mahasiswa harus memahami profil dan kebutuhan diri sendiri dan menghindari YOLO, FOMO dan FOPO dalam memilih produk dan layanan keuangan agar tetap produktif.
“Teman-teman harus menghindari YOLO atau You Only Live Once dimana apabila prinsip ini diterapkan maka dapat membuat kita menghabiskan uang tanpa berpikir masa depan,” jelas Hasan.
“Sedangkan FOMO atau Fear of Missing Out dimana teman-teman mahasiswa memilih produk dan layanan keuangan digital hanya karena takut tidak sesuai dengan tren, dan cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan dan FOPO atau Fear of Public Opinion dimana teman-teman mahasiswa memilih suatu produk dan layanan keuangan digital hanya karena takut mendapatkan kritik negatif dari teman atau keluarga,” sambungnya.