hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Dongeng Horor Tanah Jahanam Joko Anwar

Salah satu karakter yang menarik dari sutradara Joko Anwar, apalagi kalau dia sendiri menulis skenarionya ialah mampu konsisten pada dunia rekaannya atau dongengnya.  Antara suatu film dengan film yang lain boleh jadi berbeda genre atau berbeda cerita, tetapi kerap ada elemen yang menghubungkannya.

Salah satu karya awal dari Joko Anwar adalah “Janji Joni” (2005), ada satu tokoh seniman nyentrik yang disebut Adam Subandi, itu film bergenre komedi romantis.  Nama Subandi ini muncul lagi dalam Film “Kala” (2007) yang bergenre misteri misteri. Subandi adalah nama belakang dari Haedar nama asli dari Pengkor, tokoh antagonis dalam “Gundala” (2019). 

Pria kelahiran Medan, 3 Januari 1976 ini menjadikan “Kala”, “Pintu Terlarang”, “Modus Anomali” bahkan “Gundala”  dalam dunia kreasinya atau bahasa anak muda membuat “dunia semau gue”. Sejumlah filmnya juga kerap berhubungan dengan legenda, mitos dari masa lalu.  Joko meracik setiap skenario dengan apik agar terjaga konsistensinya.

Begitu juga dalam film horor “Pengabdi Setan” (2017) dengan setting 1980-an, remake film tahun 1980-an berjudul sama, namun direka ulang oleh mantan wartawan The Jakarta Post dalam dunianya.  Kemunculan komunitas pemuja setan yang menjadi dalang teror.

Joko di akhir cerita memunculkan tokoh Darminah, di mana versi aslinya adalah tokoh antagonis utamanya. Film karyanya adalah prekuel dari film aslinya.  Yang menarik lagu yang didengarkan dalam beberapa adegan film ini muncul juga dalam  satu adegan film “Gundala”.  Saya terkesan Joko memberikan unsur bahwa inilah karakter filmnya, sekalipun diangkat dari komik karya Hasmi.

Lalu bagaimana dengan film horor kedua “Perempuan  Tanah Jahanam” yang akan ditayangkan di bioskop pada 17 Oktober?  Dari segi sinematografi, iya bahwa film ini mengandung unsur noir (drama kriminal) sama seperti “Kala”, “Gundala” dan “Pengabdi Setan”. Noir adalah sinematik Hollywood yang menampilkan drama-drama kriminal, khususnya yang menekankan keambiguan moral.

Sinematografinya sebangun dengan “Pengabdi Setan”, “Gundala”, bahkan dengan “Kala”, “Modus Anomali”, dengan malam  yang begitu kelam dan menjadikan kekelaman ini sebagai hal mencekam penonton. Dari segi itu Joko berhasil. Ini salah satu kekuatan film ini yang harus diapresiasi.

Adegan pembuka ketika tokoh utama penjaga pintu tiket tol Maya Setiawati (Tara Basro) diteror seorang tak dikenal dengan mobil butut sudah menjanjikan.  Lelaki misterius itu (Teuku Rifnu) sempat menyayat paha Maya, namun dia keburu tewas ditembak polisi.

Maya kemudian menemukan dari luka sayatan itu sebuah gulungan kertas dengan tulisan berbahasa Jawa Kuno dan memberinya petunjuk bahwa dia sebetulnya anak keluarga kaya dari sebuah desa di kawasan Jawa Tengah.  

Trauma sebagai penjaga tiket tol dan gagal dalam bisnis bersama sahabatnya Dini (Marissa Anita), Maya memutuskan mencari jejak keluarganya dan berharap mendapatkan warisan yang bisa mengubah hidupnya.  Dini ikut ke desa itu.  Perjalanan menuju desa yang letaknya terpencil itu mencekam  dengan penampakan tiga sosok anak kecil.

Setibanya di desa, keduanya menemukan rumah keluarga Maya dalam keadaan kosong, sebuah pemakaman wakaf dari ayahnya yang berisi kuburan anak kecil dan melihat kematian misterius. Belakangan Maya dan Dini berhadapan dengan penduduk yang memusuhinya.  Pelan-pelan Maya menemukan misteri keluarganya dan apa yang menimpa desa itu berhubungan dengan ritual, kutukan bahkan dengan wayang kulit.

Dari segi cerita, dibandingkan film Joko Anwar lainnya, “Perempuan Tanah Jahanam” yang paling sulit saya tangkap maknanya.  Dari segi cerita ada beberapa lubang, kok bisa kematian bayi dan anak dalam jumlah yang cukup signifikan bisa-bisanya  tidak diketahui  Dinas Kesehatan daerah itu? Ini masih di Jawa, bukan di Papua bukan di daerah perbatasan.  Lalu mengapa judulnya “Perempuan Tanah Jahanam”? Itu tidak bisa saya tangkap seusai menonton film ini.

Untungnya Joko masih konsisten dengan unsur “noir” dan legenda dan mitosnya. Begitu juga dengan sinematografinya untuk membuat adegan yang mencekam, membuat saya sebagai penonton berharap kapan tokoh utamanya mendapatkan “dewa penyelamat”?

Menurut saya ceritanya tetap dalam kategori bagus untuk genre horor di atas rata-rata film horor Indonesia, namun masih sedikit di bawah  “Pengabdi Setan”.  Naskah film ini menurut pengakuan Joko ditulis sepuluh tahun lalu dan tentunya ada revisi dan pengembangan.

Saya memberi catatan sejumlah adegan cukup sadis untuk kategori 13 tahun ke atas.  Memang Joko juga mengumbar adegan sadis dalam “Modus Anomali” dan “Kala”, tetapi itu kategori 18 tahun?

Dari segi departemen kasting, untuk pertama kali seorang Christine Hakim main dalam film horor sebagai salah satu warga desa yang awalnya terkesan pelengkap, tetapi ternyata tokoh ini salah satu kunci dari film ini. 

Akting brilian Christine nyaris menenggelamkan performa pemeran lain, bahkan pemeran-pemeran lain. Tara Basro, misalnya  tidak lebih baik dari perannya dalam “Pengabdi Setan”, yang membuat saya terkesan  justru Asmara Abigail, tokoh antagonis dalam “Pengabdi Setan” dan “Gundala” memainkan karakter mencuri perhatian.    

Secara keseluruhan, “Perempuan Tanah Jahanam” tetap termasuk  film horor berkualitas di antara film horor Indonesia yang menjamur dalam beberapa tahun ini. Sekali lagi Joko Anwar menunjukan performanya sebagai sutradara berkualitas (Irvan Sjafari).

pasang iklan di sini