Peluangnews, Riyadh – Arab Saudi menyepakati kerja sama di bidang energi dengan China pada Minggu (11/6). Tindakan itu mengabaikan penolakan negara-negara Barat yang dikomandoi Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya Washington mencegah Riyadh menjalin kerjasama dengan Beijing dengan alasan ancaman lilitan utang dan intervensi. Namun, hal itu diabaikan Saudi dengan alasan bisnis tidak boleh memihak dan bercampur dengan politik.
Sebagai pengekspor minyak utama dunia, hubungan bilateral Arab Saudi dengan Tiongkok yang merupakan konsumen energi terbesar dunia mencemaskan Barat. Apalagi kerja sama tersebut diperluas mencakup bidang keamanan dan teknologi sensitif di tengah menghangatnya hubungan politik yang menjadi perhatian AS.
Disinggung kritik terhadap hubungan bilateral ini, Pangeran Abdulaziz Salman menegaskan bahwa kerja sama ini semata-mata bisnis. “Saya benar-benar mengabaikannya karena sebagai pebisnis sekarang Anda akan pergi ke mana peluang datang. Kita tidak harus menghadapi pilihan apapun yang berhubungan dengan (mengatakan) baik dengan kita atau dengan yang lain,” ungkap Pangeran Abdulaziz Salman, disadur dari laman Central News Asia (CNA), Senin (12/6/2023).
Pengusaha dan investor Tiongkok berbondong-bondong ke Riyadh untuk menyaksikan kesepakatan itu, yang terjadi beberapa hari setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken. Pada Maret, raksasa minyak negara Saudi Aramco mengumumkan dua kesepakatan besar untuk meningkatkan investasi multi-miliar dolar di Tiongkok dan meningkatkan peringkatnya sebagai penyedia minyak mentah utama Tiongkok.
Itu adalah pengumuman terbesar sejak kunjungan Presiden Tiongkok Xi Jinping ke Arab Saudi pada Desember tahun lalu. Xi menyerukan transaksi perdagangan minyak dengan menggunakan yuan, sebuah langkah yang akan melemahkan dominasi dolar.
“Permintaan minyak di Tiongkok masih terus meningkat jadi tentu saja kami harus memenuhi sebagian dari permintaan itu. Daripada bersaing dengan Tiongkok, berkolaborasilah dengan Tiongkok,” tambah Abdulaziz.
Momentum kedua negara juga telah meningkatkan prospek keberhasilan penyelesaian negosiasi untuk kesepakatan perdagangan bebas antara Tiongkok dan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang didominasi Arab Saudi, yang berlangsung sejak 2004. Menteri Investasi Saudi Khalid Al Falih mengatakan perjanjian apa pun harus melindungi industri Teluk yang baru muncul karena kawasan itu mulai melakukan diversifikasi ke sektor ekonomi non-minyak.
“Kami perlu mengaktifkan dan memberdayakan industri kami untuk mengekspor, jadi kami berharap semua negara yang bernegosiasi dengan kami untuk kesepakatan perdagangan bebas tahu bahwa kami perlu melindungi industri baru kami yang sedang berkembang,” kata Falih. (Aji)