Korespondensi dan filateli terkait erat dengan kantor pos. Masa jaya hobi komunitas itu lewat sudah. Kini, fungsi kantor pos itu sendiri bahkan tak ubahnya seperti perusahaan ekspedisi TiKi atau JNE.
KANTOR pos sedari dulu tugasnya hampir tak berubah. Yakni melayani pengiriman paket, dokumen, kendaraan (sepeda motor), pengambilan dan pengiriman uang Western Union, wesel pos; pembayaran angsuran kendaraan, iuran PDAM, gaji para pensiunan; penerimaan, pengumpulan, penyortiran, transmisi, dan pengantaran surat dan paket pos.
Di kantor-kantor dengan ciri warna kuning maron kombinasi hitam itu dijual benda-benda pos dan filateli. Mulai dari perangko, kartu pos, amplop, hingga perlengkapan pembungkus paket. Di beberapa negara, kantor pos berfungsi sebagai tempat penerimaan aplikasi paspor, pengiriman wesel pos atau money order, penjualan asuransi, pemesanan barang, dan layanan giropos dan perbankan
Kantor pos jadi menarik karena terkait dengan dua hobi di kalangan komunitas. Khususnya di kalangan usia muda. Yakni KORESPODENSI (surat menyurat) dan FILATELI (kolektor perangko). Kedua hobi itu, kini, menjadi ciri khas untuk mengenali generasi jaman old. Toh hobi ini tengah berada di ufuk senjakala, jika tak hendak menyebut di ambang kepunahan. Di era paperless ini, surat menyurat salah satu kegiatan yang makin terpinggirkan oleh fasilitas gadget yang fungsinya makin beraneka ragam.
Nyatanya, banyak hobi yang ikut tergerus zaman selain kegiatan korespondensi. Sebut saja hobi menghimpun tanda tangan orang terkenal, baik selebritas maupun tokoh negara. Di kalangan wanita, hobi merangkai bunga yang menuntut ketelatenan juga makin langka dijumpai. Hobi kliping (mengumpulkan potongan berita atau gambar dari koran) juga menghilang bersama makin sulitnya memperoleh koran cetak.
Begitulah, setiap zaman menghasilkan generasi yang berbeda hobi. Walaupun kadang ada hobi yang terulang atau mampu bertahan lintas zaman, beberapa hobi masa lampau tidak bisa lagi dinikmati di masa sekarang. Khazanah hobi jaman old jumlahnya sangat beragam. Jauh lebih kaya dibanding koleksi hobi komunitas/generasi jaman now. Kaum milenial, misalnya, paling juga mulai doyan mengoleksi ponsel G-1 alias HP era pra-Nokia.
Di masa lalu, mereka yang gemar menggeluti kegiatan korespondensi hanya butuh kertas surat dan perangko secukupnya. Yang terpenting tentulah isi atau materi yang ditulis di dalam surat. Perlu kemampuan imajinasi untuk menuliskan apa saja rangkaian tulisan yang akan dikirim kepada sahabat pena di tempat jauh. Yang menguasai bahasa asing biasanya akan menjalin sahabat pena dari mancanegara.
Menulis surat tentu tidak seperti menulis status di sosmed. Di sosmed, seseorang cukup mengekspresikan satu kalimat atau satu paragraf. Sangat tak mungkin dalam sebuag surat hanya tertulis “Halo, apa kabar?” Dalam dunia surat-menyurat dikenal tiga bagian baku yang dipersyaratkan sebagai kelaziman, juga kesantunan berkomunikasi, yaitu pembukaan, isi, penutup. Artinya, basa-basi tetap harus dipertahankan; selain juga berfokus pada konten surat yang gaul dan memperkuat tali silaturahim.
Jangan pernah anggap enteng menuturkan pikiran secara tertulis dengan sahabat pena yang baru terjalin. Apalagi yang benar-benar baru, setelah sekali dua kali surat menyurat pembukaan yang sifatnya perkenalan dan deskripsi hal-hal pokok tentang jatidiri secara umum. Menulis itu pada dasarnya hanya mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan. Untuk itu, anda dituntut belajar memahami serba serbi tentang mitra korespondensi. Tentang kulturnya, tentang latar belakang pendidikannya, tentang hobinya, tentang pikiran dan visinya.
Manfaat hobi korespondensi ini cukup positif. Peminat jadi pintar mengolah imajinasi, merangkai kata dan mengutarakan maksud. Ketika ditekuni, dari sini biasanya akan menghasilkan hobi lain yang terkait. Misalnya, menunggu balasan surat yang tidak tahu kapan akan jadi keasyikan tersendiri. Kedatangan tukang pos keliling mengantar surat balasan jadi kejutan menyenangkan—apalagi jika surat itu pas benar merupakan balasan sahabat pena yang diharapkan.
*****
FILATELI.Hobi ini sangat berkait dengan hobi korespondensi. Seringnya mengirim dan menerima surat dan lewat kantor pos tentu saja membutuhkan perangko. Itulah alat pembayaran sah biaya berkirim surat. Perangko bekas pakai diambil dan dikumpulkan. Bukankah setiap perangko desainnya berbeda-beda? Ya ukurannya, ya warnanya, ya gambarnya, ya juga bahan kertasnya. Bila terkumpul semakin beragam, di dalam album, benda tak berguna itu akan sangat bernilai di mata pada filatelis.
Komunitas Kolektor Prangko Indonesia atau Indonesia Stamps Collectors Community (ISCC) dirintis Richard Susilo di Facebook, awal 2010. Sebelumnya berupa milis FILATELIS yang dibentuk 27 Agustus 1998. Disusul dengan STAMPTRADE, yang dibuat 30 Agustus 1998. Ini milis kolektor prangko dunia yang 90% anggota non-Indonesia. Mereka berkomunikasi dalam bahasa internasional, bahasa Inggris. Kini members-nya diperkirakan lebih dari 1.500 orang.
Di milis STAMPTRADE inilah sebenarnya diharapkan bagi kolektor Indonesia yang mau menjual benda filatelinya dapat berinteraksi penuh dengan para filatelis asing. Dengan catatan, “Harus Hati-Hati” karena perdagangan di mana-mana ada yang baik ada yang curang. Kejahatan atau kecurangan yang terjadi dicatat pada List of Good Stamps Traders (Daftar Pedagang Perangko Baik) yang dibuat pada 2005.
Momen besar insan filateli terjadi pada 2016. Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, menghadiri undangan Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) pada peluncuran edisi khusus Pameran Bandung 2017 dan sampul peringatan 94 tahun PFI di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta (29/3). Pada acara itu Fadli Zon memenangi lelang satu set benda filateli dalam ukuran besar seharga Rp38 juta. Benda filateli itu masuk kategori special edition, yan unik karena memiliki nomor khusus angka 0001.
Dahulu pernah dikatakan sebagai “King of hobbies and Hobby of Kings”.
filateli ini adalah sebagai penanda zaman,” tutur Fadli Zon. Filateli juga banyak mengandung unsur sejarah. “Intinya melalui filateli kita juga berprestasi,” ujar Fadli dengan mengharapkan peringatan 94 tahun PFI ini menjadi suatu penanda zaman bahwa filateli di Indonesia masih eksis dan masih banyak penerusnya.
Mungkin saja Fadli Zon benar. Paling tidak dalam perannya sebagai motivator yang baik. Optimisme layak ditiupkan, meski pada kenyataannya ‘angin sudah berubah arah’. Toh hampir semua hal dikerjakan dengan menggunakan sarana internet sebagai media buat saling berbagi kabar. Hobi filateli di masa lalu ‘dinobatkan’ sebagai hobi terbaik. Raja dari segala hobi, hobinya para raja. Kini raja dan kerajaannya memudar hampir tanpa jejak, setelah dipecundangi teknologi.●(dd)