Kolaborasi dapat menjadi solusi untuk mengatasi modal cekak dalam investasi teknologi. Dengan dukungan digital, koperasi dapat semakin berperan dalam pemerataan ekonomi.
Internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas keseharian. Mulai dari yang serius seperti bisnis, pekerjaan sampai yang sifatnya recehan. Bahkan bagi sebagian pihak, internet merupakan “nyawa” kehidupan. Sehingga wajar, penetrasi internet yang menjadi basis ekonomi digital terus menanjak.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2018 menyebut, penetrasi internet mencapai 64,8% atau 171,17 juta pengguna dari 264,16 juta penduduk Indonesia. Jumlah pengguna internet itu meningkat dari survei yang sama tahun sebelumnya sebanyak 54,68%, atau 143,26 juta jiwa.
Pertumbuhan pengguna internet menjadi potensi bagi berkembangnya ekonomi digital. Pemerintah telah mencanangkan target nilai bisnis ekonomi digital Indonesia mencapai USD 130 miliar atau setara Rp 1.730 triliun pada 2020. Target itu sejalan dengan riset Google dan Temasek, yang menyebut Asia Tenggara memiliki potensi ekonomi digital yang sangat besar mencapai USD200 miliar atau Rp2.647 triliun pada 2025.
Besarnya potensi pasar digital seperti data-data diatas ibarat magnet yang dapat menarik benda-benda logam disekelilingnya. Sehingga tidak heran, kini banyak industri yang melakukan investasi besar-besaran untuk menopang transformasi digital. Riset International Data Corporation (IDC) menyebut, pada 2018 belanja pelaku bisnis untuk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia sebesar Rp435 triliun. Pada tahun ini, nilainya diprediksi melonjak menjadi Rp465 triliun. Lebih lanjut, IDC jmemprediksi angka belanja TIK akan naik jadi Rp488 triliun pada 2020 dan pada 2021 sebesar Rp514 triliun.
Dukungan teknologi digital dipandang sebagai keharusan sejarah jika tidak ingin digilas perubahan yang bersifat disrupsi. Lalu, bagaimana dengan Koperasi?. Koperasi yang ditahbiskan sebagai sokoguru perekonomian merupakan salah satu dari tiga badan usaha selain korporasi (swasta) dan BUMN. Koperasi memiliki definisi, nilai-nilai dan prinsip yang biasa disebut Jatidiri Koperasi atau ICA Cooperative Identity Statement (ICIS).
Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM sejak awal Kabinet Indonesia Kerja pada 2014, mengusung agenda Reformasi Total Koperasi yaitu Reorientasi, Rehabilitasi, dan Pengembangan. Ketiga pilar itu dilakukan secara simultan dimana perkuatan teknologi merupakan bagian dari Pengembangan Koperasi.
Hasilnya bisa dilihat dari kinerja koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB). Data Kemenkop dan UKM, pada 2018, koperasi berkontribusi sebesar 5,1%, naik dibanding 2014 sebesar 1,71%.
Meski secara makro terjadi peningkatan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, utamanya dalam infrastruktur digital. Koperasi perlu melakukan reorientasi bahwa investasi digital merupakan profit center alih-alih cost center. Digital menjadi pendukung dari operasional koperasi agar lebih efisien dan berdaya saing.
Pembenahan dapat dilakukan mulai dari skala yang sederhana seperti pembuatan website koperasi. Ini penting, karena dalam era digital orang akan mencari informasi pertama dari mesin pencari seperti Google. Melalui website, calon anggota dapat mengetahui produk, layanan, cara mendaftar sebagai anggota maupun hal lainnya tentang koperasi tersebut. Selain itu, situs ini juga dapat menjadi pemicu brand awareness masyarakat calon anggota terhadap koperasi.
Digitalisasi selanjutnya bisa dikembangkan pada sistem manajemen informasi. Sehingga proses bisnis di koperasi menjadi lebih efisien dan transparan. Selanjutnya, Koperasi dapat mengembangkan digitalisasi pada produk dan layanan. Dengan basis anggota riil yang besar, koperasi memiliki keunggulan kompetitif yang dapat dioptimalkan.
Salah satu masalah klasik yang dihadapi koperasi dalam investasi teknologi adalah permodalan. Ini sebenarnya dapat diatasi jika gerakan koperasi konsisten dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi itu sendiri. Salah satu prinsip perkoperasian adalah kerja sama antarkoperasi.
Faktanya, saat ini sudah ada koperasi besar yang memiliki kompetensi mumpuni dalam pengembangan infrastruktur digital. Bahkan, startup unicorn saja telah bermitra dengan koperasi digital tersebut untuk pengembangan produknya.
Kolaborasi menjadi kata kunci untuk mengatasi keterbatasan modal. Kini, bukan saatnya semua dikerjakan sendiri-sendiri. Selain memakan biaya mahal, tidak jarang hasilnya pun kurang optimal. Untuk merealisasikan kolaborasi tersebut, faktor utama yang perlu dikedepankan adalah membuang ego sektoral.
Digital sebagai pendukung (backbone) diyakini dapat lebih menggenjot peran dan fungsi koperasi. Model bisnis koperasi diyakini dapat mengurangi tingkat kesenjangan yang masih cukup besar. Faktanya, 10% terkaya di Indonesia memiliki 77% aset dan 1% memiliki lebih dari 50% kekayaan negeri. (Kur).