SETIAP bank sentral di negara berkembang kini menghadapi tantangan untuk merespons ketidakpastian global. Ketidakpastian ekonomi global menyangkut tiga poin. Yang pertama, berkaitan dengan pola pertumbuhan ekonomi global, dengan prediksi 3,8% tahun ini dan 3,6% tahun depan, banyak bertumpu ke AS.
Dengan pertumbuhan ekonomi AS yang kuat, maka tak terelakkan “Sejumlah negara mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. Kita menyebutnya, pertumbuhan ekonomi dunia tidak didukung berbagai belahan yang merata,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.
Menguatnya ekonomi AS juga berdampak terhadap perekonomian Cina. RRC yang diperkiraan tumbuh 6,7% tahun ini aklan menjadi 6,5% tahun depan. Di Eropa dan Jepang, yang tahun ini pertumbuhannya bagus, kemungkinan juga akan turun tahun depan. “Ekonomi global itu lebih bertumpu ke sumber ekonomi (AS). Kemungkinan (pertumbuhan) enggak bisa lanjut kalau bertumpu ke AS, mestinya yang lain tumbuh,” kata Perry.
Ketidakpastian kedua terkait dengan suku bunga AS, yang tahun ini diprediksi naik sebanyak empat kali. Dua kali di antaranya sudah dilakukan dengan disusul dua kali lagi pada September dan Desember 2018. Menurut Perry, situasi ini yang membuat banyak investor menarik dananya dari negara berkembang (capital outflow) karena AS menaikkan suku bunga.
“Investor tarik dananya dari negara berkembang dan pindahkan ke AS. Ini jadi salah satu sumber tekanan nilai tukar di berbagai dunia, tahun ini banyak negara alami tekanan nilai tukar,” katanya.
Ketidakpastian ketiga datang dari perang dagang antara AS dengan Cina yang menimbulkan ketegangan, sehingga banyak investor menarik dananya. “Ketegangan perdagangan membuat ketidakpastian investor. Ini timbulkan tekanan di berbagai dunia dengan keluarnya modal asing di berbagai negara,” ujar Perry Warjiyo.●