GUNUNGKIDUL—Desa Wisata Jelok (dewi elok), berada di Dusun Jelok, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, (Jalan Wonosari kilometer 25) lebih kurang 30 kilometer dari pusat kota Yogyakarta (30 menit) dan 15 kilometer dari pusat kota Wonosari (20 menit).
Desa wisata ini bisa diakses melalui jembatan Jelok dan Hutan Ngleri yang sama menawaran panorama perdesaan yang asri.
Begitu Anda di gerbang berarsitektur Jawa nya akan disambut papan ucapan Sugeng Rawuh Jelok dengan huruf yang mencolok.
Desa ini menurut Ketua Darmawisata Jelok, Sukriyanto, pihaknya sudah berbenah untuk menyambut kembali wisatawan. Berbagai langkah protokol kesehatan dilakukan, di antaranya penyemprotan disinfektan pada seluruh bangunan.
Para tamu yang datang disediakan tempat cuci tangan berupa tempayan berisi air bersih dan sabun, wajib pakai masker dan dicek suhu badannya oleh petugas yang ditunjuk menyambut tamu.
“Kalau tak ada aral melintang minggu depan kami sudah bisa menerima wisatawan,” kata pria yang karib disapa Sukri ini ketika dihubungi Peluang, Minggu (6/7/20).
Desa wisata ini menawarkan Wisata Budaya, seperti seperti kesenian karawitan yang rutin di Desa Wisata Jelok, termasuk juga belajar membatik, bermain gamelan dan sebagainya.
Dewi Elok ini dilengkapi dengan sarana outbond, makrab camp, penginapan dan tentunya sajian pemandangan dengan spot fotografi menawan, seperti jembatan gantung Jelo dan lika-liku Sungai Oyo.
“Wisatawan juga bisa menikmati arung jeram, kano, rafting hingga wisata adventure seperti susur goa, treking sepeda,” kata dia.
Terdapat juga wisata kuliner mencicipi gudeg sinuwun, sego plapah, brongkos dan sajian khas Gunungkidul lainnya. Makanannya diolah secara tradisional, dengan cobek dan ulekannya serta dimasak dengan arang.
Bagi yang ingin menginap akan merasakan hidup di alam pedesaan dapat mengikuti dan menjadi bagian dari adat, tradisi dan budaya pedesaaan. Dengan tinggal di rumah warga Dusun Jelok dan melakukan beberapa kegiatan selama 2 hari 1 malam.
“Tarifnya berkisar Rp750 ribu untuk private homestay dan homestay umum Rp350 ribu dengan empat bed setiap satu rumah, termasuk sarapan dan teh/kopi malam hari,” jelas Sukri.
Sebelum pandemi, Dewi Elok dikunjungi 800 hingga 1.000 pengunjung per bulannya. Dia berharap desa ini akan kembali ramai sesudah pandemi berakhir.
Sementara Mutia Juwari, seorang praktisi pariwisata menyampaikan yang paling epik, kampung ini dulunya hanya dusun yang terpencil padahal tidak jauh dari kota Yogyakarta. Dusun ini tidak terjangkau dengan kendaraan roda empat maupun roda dua.
“Dulu kalau ke sana harus menyeberangi Sungai Oya, sungai terbesar dan terpanjang di Gunung Kidul. Sampai akhirnya oleh mahasiswa KKN dibangunkan jembatan hingga orang bisa menyeberang,” kenang alumni sebuah universitas negeri di Yogyakarta ini.
Kini desa wisata itu sudah dibangunan jembatan yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Sebelumnya hanya roda dua.
“Kalau dari desa wisatanya menjual panorama dan suasana pedesaan, resto yang menyajikan menu desa hingga outbound dan jelajah desa wisata pake sepeda. Pengunjung juga bisa main kano di sungainya,” tutup Mutia (Irvan Sjafari).