PENARIKAN paksa kendaraan milik konsumen yang telat atau tidak membayarkan angsurannya oleh penagih utang (debt collector) tidak dibenarkan. Apalagi kendaraan tersebut ditarik paksa saat digunakan oleh konsumen di jalan.
Penegasan itu disampaikan anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Dr. Slamet Riyadi, S.H., S.Hum., M.Si, kepada wartawan saat acara Sosialisasi Perlindungan Konsumen terhadap Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor akibat Kredit Macet, di Kantor Otoritas Jasa Keuangan DIY, Rabu (17/5).
Slamet Riyadi mengatakan, permasalahan penarikan paksa kendaraan bermotor muncul saat konsumen tidak membayarkan angsuran dalam beberapa waktu tertentu atau tidak melunasinya. Dalam mengatasi masalah ini, biasanya pihak perusahaan pembiayaan (leasing) menggunakan jasa pihak ketiga yaitu debt collector/tukang tagih.
Seringkali dijumpai, para penagih tersebut mengambil paksa kendaraan dari tangan konsumen yang tidak melunasi kewajibannya membayar cicilan dalam jangka waktu tertentu.
“Kami informasikan, tidak boleh ada lagi penarikan kendaraan bermotor di jalan,” tegas Slamet.
Slamet menjelaskan, saat mengalami gagal bayar kendaraan, konsumen mempunyai hak untuk tidak ditarik kendaraan mereka di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021. Dimana kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Setelah itu, pengadilan yang memutuskan terkait penarikan kendaraan bermotor akibat kredit macet.
“Jika masyarakat memiliki permasalahan terkait penarikan paksa kendaraan
bermotor dapat melakukan pengaduan ke BPKN-RI melalui Play Store/App Store
BPKN 153 dan OJK melalui layanan kontak OJK 157,” pesan Slamet Riyadi.
Pelayanan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perlindungan konsumen melalui pemberian informasi dan layanan pengaduan mengenai produk dan layanan jasa keuangan kepada konsumen dan masyarakat. Diingatkan, jika konsumen terlambat membayar cicilan kendaraan, ia sebaiknya datang ke lembaga pembiayaan. Konsumen dapat mengungkapkan permasalah yang dihadapi sehingga mengakibatkan terlambat membayar dan meminta penundaan pembayaran.
Kalaupun lembaga pembiayaan hendak melakukan penarikan karena tidak ada
itikad baik dari konsumen, beberapa tahapan harus dilalui. Lembaga pembiayaan mengirimkan surat teguran hingga tiga kali, kemudian somasi, lalu mengirimkan jasa penagih hutang.
Penagih hutang pun tidak bisa melakukan penarikan di jalan. Mereka harus memiliki identitas sebagai penagih hutang, sertifikat penagih hutang, dan
memiliki surat tugas dari lembaga pembiayaan.
“Jika melanggar, bisa dikenai sanksi, dari mulai sanksi administrasi hingga pencabutan izin usaha (debt colector),” kata dia.
Mereka yang bertanggung jawab tidak hanya jasa penagih hutang, tetapi juga lembaga pembiayaannya.
Sementara itu, Kepala OJK DIY, Parjiman menyampaikan, masyarakat yang mengalami masalah seperti di atas, juga bisa melaporkan ke OJK. Baik dengan datang langsung, lewat surat, dan lewat aplikasi portal perlindungan konsumen (APPK).
Jika konsumen tidak setuju dengan skema penyelesaian dari lembaga pembayaran, yaitu bisa melalui penegak hukum atau diteruskan dimediasi oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).
“Khusus penarikan kendaraan bermotor, ada 9 laporan, 5 datang langsung dan 4 surat, sedangkan 2023 ini baru 1 laporan,” kata dia. Semua laporan tersebut sudah diselesaikan melalui APPK. (Ajie)