Daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya akibat efek kumulatif inflasi yang tinggi sejak 2022. Dengan pendapatan yang tidak meningkat signifikan, sulit mengejar kenaikan biaya hidup akibat inflasi.
Kondisi ekonomi dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Konsumsi masyarakat dalam keadaan rapuh, daya beli melemah. Ketika mesin eksternal, seperti kinerja ekspor dan impor, tidak bisa diandalkan akibat pelemahan ekonomi dunia; pertumbuhan ekonomi sudah sepatutnya bertumpu pada roda domestik.
“Saya kira potensi ancaman ekonomi kita di tahun depan adalah kemungkinan stagnasi,” ujar Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad.
Penurunan impor terbesar terjadi pada kelompok barang produktif, seperti bahan baku dan penolong. Penyebabnya adalah bayang-bayang tingkat inflasi yang makin tinggi. Inflasi ikut mengekang daya beli masyarakat, khususnya dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Ini terlihat juga dari melambatnya penjualan ritel untuk barang kebutuhan pokok.
Karena itu, Tauhid merekomendasikan beberapa kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2024.
- Pertama: memperkuat ekonomi domestik dengan mengurangi impor dan meningkatkan ekspor ke negara-negara yang pertumbuhan ekonominya masih bagus.
- Kedua: meningkatkan daya beli masyarakat melalui efektivitas bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, dan penyediaan fasilitas pendukung.
- Ketiga: menyarankan agar pemerintah meningkatkan masyarakat kelas menengah melalui program-program yang tepat sasaran.
“Kelas menengah kita yang tidak tersentuh bantuan, tidak tersentuh program dari pemerintah tapi jumlah mereka begitu banyak.”
Faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi global. Hal itu tampak dari melemahnya permintaan ekspor Indonesia, terutama dari Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Korsel.
“Ekspor impor masih turun sampai tahun depan. Harga komoditas yang melandai akibat pelemahan ekonomi dunia membuat ekonomi kita tidak bertumbuh tinggi. Faktor lainnya, daya beli masyarakat Indonesia yang melemah,” kata Tauhid.
Kenaikan inflasi akibat pelemahan ekonomi dunia dan fenomena El Nino yang bisa mengancam daya beli masyarakat. Tensi geopolitik juga menambah ketidakpastian pada pergerakan harga minyak mentah dunia.
Satu hal yang pasti, inflasi yang lebih tinggi ini ikut mengekang daya beli masyarakat, khususnya dari kelompok berpendapatan rendah. Ini terlihat juga dari melambatnya penjualan ritel untuk barang kebutuhan pokok.
Sulit diingkari, daya beli masyarakat memang belum pulih sepenuhnya akibat efek kumulatif inflasi yang tinggi sejak 2022. Dengan pendapatan masyarakat tidak meningkat signifikan, sulit mengejar kenaikan biaya hidup akibat inflasi.
Berkurangnya pendapatan itu terlihat dari menurunnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan, khususnya kelompok masyarakat dengan tabungan di bawah Rp 100 juta, yang merupakan mayoritas nasabah di perbankan.
Fakta lain menguatkan, penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak bulan September 2023, khususnya untuk kelompok penghasilan di bawah Rp3 juta, juga menunjukkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.
“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Oktober 2023 mencapai 50,70, tetap ekspansi meskipun melambat 1,81 poin dibanding September 2023,” kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif.
Secara menyeluruh, tiga faktor patut disebut mengapa kondisi ekonomi tidak dalam keadaan baik-baik saja.
- Pertama, penurunan daya beli global.
- Kedua, melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah menyebabkan biaya input untuk produk dengan bahan baku impor semakin tinggi.
- Ketiga adalah faktor eksternal seperti banjirnya produk impor, peredaran barang ilegal, dan kenaikan harga energi pada Oktober ini.