octa vaganza
Opini  

Dari Subsistensi Menuju Hilirisasi

Gegara meneer Van Den Bosch, tanah pertanian di seantero Hindia Belanda menjadi lebih komersial. Petani tidak melulu menanam padi, tomat atau cabe, mereka kudu wajib menanam seperlima dari lahan garapan mereka untuk tanaman ekspor terutama kopi, tebu dan nila. Bagi mereka yang tidak punya lahan, diwajibkan bekerja tanpa upah di perkebunan milik kolonial. Hasilnya, perekonomian merangkak naik, membawa kemakmuran berlimpah untuk negeri penjajah. Gak tanggung-tanggung, Keuangan kolonial Belanda yang sebelum era cultuurstelsel nyaris bangkrut terkuras biaya Perang Diponegoro, malah berhasil surplus, tanam paksa menyumbang lebih dari 70% dari total penerimaan kas Kerajaan Belanda.

Tragedi di tahun 1830-1877 itu kini tinggal sejarah kelam bangsa ini. Namun dari situ kita mafhum, betapa dibilang ratusan tahun nenek moyang kita hanya dijejali pengetahuan ekonomi subsisten. Sekadar mencari makan hari ini yang hasilnya hanya untuk kebutuhan hari ini.

Saat panen padi tiba, sekumpulan tengkulak mendatangi sawah petani, memborong hasil panen padi mereka yang masih berupa gabah, alih-alih beras. Para petani yang baru beranjak ke ekonomi subsistensi produksi hanya menghitung nilai tambah produknya dengan ukuran kualitas gabah kering panen atau kering giling. Hasilnya tentu bakal lain jika pemerintah memberikan bantuan atau pinjaman murah kepada petani untuk bisa memiliki usaha bersama penggilingan padi sehingga nilai tambah, berupa beras, jauh lebih tinggi ketimbang gabah.

Jika dirunut ke sektor ekonomi rakyat lain, hasilnya juga ‘setali tiga uang’. Petani sawit, misalnya, masih tetap berkutat di produksi Tandan Buah Segar (TBS), sementara produk olahannya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil-CPO) dikangkangi perusahaan besar. Harga ikan nelayan terpaksa dijual cepat karena tidak pernah terpikirkan mereka bakal punya cold storage. Lebih sinis lagi pernyataan Menteri Koperasi UKM Teten Masduki yang mencela  mayoritas produk UMKM di sektor kuliner, hanya berkutat pada usaha jual kripik, seblak atau kerajinan; paling banter batik. 

Kebuntuan ekonomi subsisten ini yang belakangan disinggung Presiden Djoko Widodo dengan istilah hilirisasi. Dalam konteks ini ia merujuk pada buruknya nilai tambah ekonomi dari sektor pertambangan, terutama nikel. Kendati hitung-hitungannya masih debatable, presiden menyebut ekspor bahan mentah nikel setahun hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industri downstreaming, ke hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Nilai agregatnya bakal lebih hebat lagi jika penguasa negeri ini berani stop ekspor bauksit, tembaga, timah, batu bara, CPO atau ikan mentah.

Tetapi sindiran Teten Masduki ada benarnya, puluhan tahun rantai pasok sektor usaha rakyat terputus dengan sektor industri. Contoh mirisnya dia sebutkan potensi 50 juta ton sawit per tahun yang hanya dimikmati pengusaha besar, bahkan asing. Petani yang berhimpun dalam wadah koperasi sawit dan yang mengusai 47 persen lahan sawit hanya sekadar mendapat ekonomi recehan. Teten menawarkan hilirisasi sawit melalui koperasi yang akan menghasilkan minyak makan merah.

Kendati aksi konkret hilirasi boleh dibilang terlambat, namun program ini layak berlanjut guna meningkatkan leverage bangsa di masa depan. Masalahnya, sampai berapa jauh program ini melibatkan peran serta rakyat, seperti diingatkan oleh konstitusi negara, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama  berdasar atas azas kekeluargaan, bukan milik perorangan ataupun sekelompok individu.

Penulis adalah pemerhati perkoperasian nasional, Pimpinan Paripurna Dekopin

Exit mobile version