Tahun ini, Hari Koperasi Internasional atau International Cooperative Day jatuh pada 1 Juli. Perayaan ke-101 yang dikenal sebagai “CoopsDay” ini mengusung tema “Koperasi untuk pembangunan berkelanjutan”.
Mengapa hari koperasi setiap tahun dirayakan? Salah satunya untuk mengenang jasa para pendiri koperasi. Sebab, keberadaan koperasi diakui telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi global dan perannya dalam membangun masa depan yang berkelanjutan.
Namun, hal itu paradoks dengan kenyataan yang ada di Indonesia saat ini. Koperasi di negeri kita kendati sudah ada sejak 1 abad lebih, masih saja gurem. Sangat kontras dengan citranya sebagai lembaga ekonomi yang mendapat tempat terhormat dalam konstitusi. namun dalam realitanya siapa sudi berbisnis dengan koperasi, bahkan lembaga pemerintah sekalipun enggan memberikan tempat bagi koperasi untuk mengikuti tender. Ada memang regulasi yang menghibur tetapi sekaligus miris, yaitu Perpres No 12 tahun 2021 dan Permendagri No 77 Tahun 2020. Membolehkan koperasi ikut tender proyek pemerintah tapi dengan nilai maksimal Rp15 miliar. Seolah bisnis koperasi memang hanya di plot untuk urusan kecil-kecil saja, jualan kripik atau beternak. Bakal sulit kita baca di media massa ada koperasi memenangkan kontrak pembangunan jalan tol, atau koperasi mendapat opsi ekspor barang tambang.
Boleh jadi para pegiat koperasi terkagum-kagum dengan Agricole di Perancis, CHS di Amerika Serikat (AS) atau Zen-Noh di Jepang, lembaga bisnis koperasi raksasa yang mendunia itu. Tidak demikian halnya di sini. Koperasi sebagai entitas bisnis tak berdaya menghadapi persaingan pasar bebas. Celakanya, hal itu diakui oleh setiap pejabat negara, terutama menteri koperasi, bahwa koperasi masih lemah, masih perlu diberdayakan, karenanya perlu diberi bantuan modal.
Anehnya, meski mendapat perlakuan tak adil, koperasi terus tumbuh, bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia setelah India. Data KemekopUKM menyebut terdapat 127 ribu-an unit koperasi dengan anggota sekitar 30 juta orang, sedangkan di India ada 854.355 koperasi dengan 290 juta anggota. Sementara di negeri yang menjadi sarang kapitalis, AS, terdapat sekitar 30 ribu koperasi dengan masing-masing koperasi punya peran ekonomi amat signifikan. Sebut saja misalnya National Rural Electric Cooperative Association (NRECA) yang dengan lebih dari 200 koperasi listrik, anggotanya, menguasai jaringan pemasaran listrik di pedesaan AS. Koperasi lainnya asal AS yang belakangan sudah membanjiri mal-mal di Indonesia adalah Ace Hardware, koperasi perkakas rumah tangga yang di AS menempati posisi 20-an koperasi skala besar. Di India, kita kenal AMUL dan Iffco. Yang pertama, AMUL adalah nama singkatan dari Koperasi Susu Gujarat yang produknya mendunia dan dikontrol ketat oleh para anggotanya, sebanyak 3,6 juta produsen susu. Sedangkan Iffco (Indian Farmers Fertilizer Cooperative) adalah Koperasi Pupuk Petani India dengan produksi berorientasi ekspor.
Contoh koperasi besar dan mendunia di negara lain, tentunya tidak bisa kita komparasikan dengan keadaan di Indonesia. Di masa lalu, koperasi yang bernama KUD pernah punya tempat istimewa ketika diberi hak untuk menguasai pengadaan dan penjualan sarana produksi pertanian. Tetapi perjalanan waktu menguji daya tahan koperasi yang sarat subsidi ini. Selepas era reformasi, KUD goyah, ada yang bubar, status quo dan banyak pula yang hanya tinggal papan nama, lantaran putusnya subsidi.
Dalam teorinya yang terkenal Disruptive Innovation, Clayton Christensen mengatakan bahwa perusahaan kecil bisa menggilas perusahaan besar (petahana) meskipun perusahaan besar tersebut didukung segala sumber daya. Kuncinya, kata Clayton, karena perusahaan kecil mampu melakukan perubahan besar yang mendasar. Namun demikian, kemajuan koperasi tak hanya dari sisi internal koperasi, ekosistem serta regulasi yang mendukung, akan menciptakan iklim yang baik bagi pertumbuhan koperasi ke depan. Semoga.