hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Ciri Koperasi di Indonesia Cenderung Jadi Alat Politik dan Kepentingan Penguasa

Ciri Koperasi di Indonesia Cenderung Jadi Alat Politik dan Kepentingan Penguasa
Ciri Koperasi di Indonesia Cenderung Jadi Alat Politik dan Kepentingan Penguasa/dok.Peluangnews

PeluangNews, Jakarta – Kecenderungan menjadikan koperasi sebagai alat politik dan kepentingan penguasa telah menjadi ciri menonjol di Indonesia.

Banyak koperasi telah tercerabut dari entitasnya sebagai soko guru perekonomian rakyat
sebagaimana diamanatkan oleh founding fathers negeri ini.

Kuatnya kepentingan politik dan campur tangan yang over dosis tersebut, membuat peran ekonomi koperasi sulit bangkit dan hanya menjadi ekonomi kelas pinggiran.

Karena itu, agar koperasi mampu bangkit dan memfungsikan peran ekonominya, intervensi harus dipangkas dan legalitas koperasi yaitu Undang-Undang Koperasi yang masih mangkrak, harus segera disahkan sehingga bisnis koperasi dapat beradaptasi dengan tren pasar yang berkembang dewasa ini.

Demikian benang merah yang mengemuka dari Sarasehan Perkoperasian Indonesia bertajuk “Rethingking for The Future: Refleksi dan Perspektif Koperasi Indonesia 1900-2025, di Jakarta, Kamis (28/8/2025).

Sarasehan yang dihadiri 50 orang pegiat koperasi dari berbagai daerah itu digagas oleh Forum Komunikasi Koperasi Besar Indonesia (Forkom KBI) berkolaborasi dengan Kelompok Diskusi Notaris Pembaca dan Pemikir (Kelompencapir).

Sarasehan selama tiga jam ini dipandu oleh Ketua Kelompencapir Dewi Tenty Septi Artiany dan menghadirkan pemantik diskusi Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, Ketua Umum Asosiasi Praktisi Perkoperasian (APPI) Muhammad Taufiq dan pengarah diskusi Ketua Forkom KBI Irsyad Muchtar.

Hadir pula Ketua Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) Andy Arslan Djunaid, Kamaruddin Batubara (Koperasi BMI Group), Presdir BMT NU Ngasem Jawa Timur Muhammad Wahyudi, ekonom konstitusi Defian Cory, dan para notaris anggota Kelompencapir.

Sebagai pembuka diskusi, Dewi Tenty yang akrab dipanggil Dete mengatakan, pada awalnya kebijakan Presiden Prabowo Subianto memisah Kementerian Koperasi dengan Kementerian UMKM sebagai kebijakan yang positif.

Namun langkah tersebut tidak diimbangi dengan program kementerian koperasi yang terkesan mandek. Antara lain, pembahasan RUU Koperasi yang mangkrak, pemberdayaan koperasi sektor riil maupun koperasi modern.

Kemenkop, kata Dete, malah lebih utamakan program ‘keroyokan’ makan bergizi dan Kopdes Merah Putih.
Menimpali Dete, Muhammad Taufiq menilai pembinaan perkoperasian belakangan tidak diisi oleh orang yang memang punya komitmen kuat untuk kembangkan koperasi.

Selain itu, para pengambil keputusan di tingkat pusat juga termasuk DPR RI tidak melihat koperasi sebagai entitas bisnis yang krusial, sehingga wajar RUU Koperasi tak kunjung diketok jadi UU.

Dalam paparannya, Suroto menilai perkoperasian di Indonesia telah terjebak dalam alur kebijakan penguasa yang selalu berulang.

Sejak awal kemerdekaan hingga kini koperasi tak diberi kesempatan untuk mandiri, tetapi senantiasa dicekoki oleh berbagai bantuan sehingga aspek bisnis koperasi ambruk.

“Bayangan generasi muda kini wajar jika melihat koperasi itu gak keren. Ribet dengan berbagai aturan,” ujarnya.

Menurut dia, agar koperasi bisa diminati oleh kaum muda, copot intervensi pemerintah dan longgarkan regulasi.

“Ke depan, dalam UU Koperasi yang baru baiknya diusulkan bahwa untuk mendirikan koperasi syaratnya cukup minimal dua orang saja, seperti halnya pembentukan koperasi di negara-negara maju, ” ujarnya.

Di akhir diskusi, Irsyad Muchtar sepakat dengan para pembicara lain agar insan koperasi berani perjuangkan hak-hak politik dan ekonominya.

“Cukup lama usaha koperasi mandeg bukan karena lemah modal dan sumber daya manusianya, tetapi karena regulasi yang ribet dan tidak memihak,” kata Irsyad. (Faw)

Baca Juga: 75 Tahun Gerakan Koperasi Masih Sarat Intervensi

pasang iklan di sini