octa vaganza
Solusi  

Ciputra, Syukur Tak Ada Bank yang Bawa Kami ke Pengadilan

Ada tiga hal yang paling menyedihkan kala itu. Yakni nasib karyawan, nasib pelanggan, dan tak sanggup bayar utang ke bank. Ciputra turun tangan secara total. Ia lepas berbagai aset dan beberapa unit usahanya tutup selamanya.

z juga pernah jatuh bangun dalam merintis usahanya. Bisnis begawan properti itu di ujung tanduk saat krisis ekonomi 1998. Utang menggunung, tidak bisa memenuhi hak konsumen. Sejumlah asetnya dijual. Beberapa unit usahanya terpaksa ditutup untuk selamanya.

Di masa kecilnya, kehidupan Ci, begitu biasa dipanggil, sangat sulit, penuh penderitaan. Dia tinggal di sebuah desa terpencil di Sulawesi. Di sana ia kehilangan ayah tercinta. “Ayah saya ditangkap oleh polisi Jepang, diseret dan mati di penjara,” katanya. Hidup tanpa ayah, kesulitan Ci bertambah. Terlebih, di desanya serba terbatas. ” Tinggal di satu desa kecil, tanpa air minum, tanpa jalan aspal, tanpa listrik. Saya bilang saya harus menjadi arsitek untuk mengatasi kemelaratan saya,” katanya.

Setamat SMA, ia lanjut studi di perguruan tinggi. Merantau ke Kota Bandung, dan berhasil masuk Institut Teknologi Bandung. “Saya ke ITB saya punya cita-cita jadi arsitek. bKarena tidak punya uang dari orangtua, saya bekerja sebagai kontraktor dan arsitek; kemudian bikin biro arsitek bersama Budi Brasali dan Ismail Sofyan. Bermodalkan kantor di dalam sebuah garasi,” katanya.

Setelah bertitel insinyur, Ci memilih berkarier di Jakarta di bidang bisnis properti. Ia sukses bekerja di Jaya Group, lalu mendirikan perusahaan bernama Metropolitan Group dan bisnis keluarga, yakni Ciputra Group.

Gejolak dahsyat melanda tahun 1998. Ci terempas. Itu masa krismon yang meluas jadi krisis multidimensi. Utang perusahaannya numpuk, karyawan sampai menangis. Tiga perusahaan yang dikelolanya terpuruk, yakni Ciputra Group dan dua perusahaan lainnya: Jaya Group dan Metropolitan Group.

Ada tiga hal yang paling menyedihkan kala itu, yakni nasib karyawan, nasib pelanggan, hingga tak sanggup bayar utang ke bank. “Yang paling sedih adalah tiga hal. Pertama adalah karyawan kita, sudah enggak ada pekerjaan. Kedua, customer kita, kita tak bisa deliver. Ketiga utang ke bank, kita sudah tak mampu bayar,” ujar Ci. Tapi ia tegar dan sepenuh hati bertanggung jawab.

“Satu per satu kita tanya mereka siapa yang ingin mengundurkan diri silakan, kita apa adanya kita berikan,” katanya. Momen sedih lain yang diceritakannya, karyawannya sampai menangis karena tak bisa mengembalikan uang muka ke pembeli. “Kita sudah terima uang down payment, tapi kita tak bisa kembalikan. Itu sangat menyedihkan. Karyawan saya nangis. Utang saya gak bisa bayar, tidak bisa deliver,” katanya. Namun, Ci komit bahwa utang harus dibayar.

Ciputra pun turun tangan habis-habisan, mengerahkan segala potensi dirinya. Kepada pembeli, ia berunding untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ia merelakan tanah hingga rumah untuk menyelesaikan masalah dengan pembeli. “Saya berunding dengan pembeli. Begini deh, ‘Saya punya tanah, saya sudah terima uang sekian, you ambil tanah, you ambil rumah dua rumah’,” katanya.

Tak hanya pada pembeli, Ci pun turun tangan berunding dengan pihak bank terkait utangnya. “Sampai 2004 baru selesai perundingan dengan bank. Kami sangat bersyukur tak satu bank pun yang bawa kami ke pengadilan,” katanya. Kini, sosok Ciputra pun sudah tiada. Ia meninggal di Singapura 27 November 2019.●

Exit mobile version