JAKARTA—-Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengingatkan kenaikan HPP gula menjadi Rp10.500 per kilogram berpotensi mengerak HET naik ke level estimasi Rp 14.000 per kilogram.
“Para pelaku UMKM di bidang makanan dan minuman terkena dampaknya. Biaya produksinya akan terdongkrak , karena pada dasarnya mereka menggunakan gula kristal putih yang dijual di pasar sebagai salah satu bahan bakunya, ” ujar Ilman.
Komoditas ini bisa dikatakan juga dikonsumsi secara langsung oleh konsumen secara umum. Nantinya akan berdampak pada daya beli masyarakat karena dampak yang dirasakan tidak hanya kenaikan gula untuk kebutuhan dapur.
“Tapi juga berasal dari naiknya jenis makanan dan minuman jadi yang diproduksi oleh UMKM tersebut,” ungkap dia.
Komoditas yang satu ini juga pernah tercatat menyumbang inflasi pada pertengahan 2016 di mana BPS menyampaikan bahwa gula berkontribusi pada inflasi di Mei 2016 sebesar 0.24% dan Inflasi tahunan 2016 sebesar 3,33% (year on year).
Adanya HPP dan HET, lanjut Ilman, bertujuan untuk melindungi produsen dan konsumen. Namun dalam jangka panjang, kebijakan pricing ini tidak akan mendorong harga gula bergerak ke arah yang lebih terjangkau bagi konsumen dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi petani gula secara signifikan.
“Petani gula dalam hal ini akan mengalami margin profit yang tetap dan hanya dapat menambah margin profitnya dengan mendorong biaya produksi menjadi lebih rendah. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa ke depannya HPP akan terus naik karena petani pun harus menyesuaikan margin profit dengan kebutuhan rumah tangga mereka,” tutur Ilman.
Dikatakannya, pelaku industri makanan minuman yang menggunakan gula juga relatif tidak dapat secara mudah untuk mensubstitusikan gula dengan bahan baku pengganti lainnya.
Pekerjaan rumah yang harus dituntaskan industri gula dan juga pemerintah adalah untuk meningkatkan produktivitas gula. Berdasarkan data BPS (2017) dan USDA (2017-2018), saat ini produktivitas tebu di Indonesia berada di kisaran 65,73 ton/ha . Angka ini relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan capaian Indonesia pada 2009/2010 yang mencapai 78,24 ton/ha.
Selain itu, mengacu pada sumber data serupa, tingkat rendemen gula Indonesia masih terbilang rendah yaitu sebesar 7,5%. Angka ini jauh di bawah Filipina yang sebesar 9,2% dan Thailand sebesar 10,7%.
Kedua fakta ini menandakan perlunya optimisasi kinerja pabrik gula domestik agar dapat bekerja lebih efisien untuk menghasilkan gula dalam biaya yang lebih rendah.
“ Untuk itu, pemerintah sebaiknya terus mendorong revitalisasi pabrik gula agar menjamin kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga gula dalam jangka panjang,” pungkas Ilman.