hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Cara Kuantan Singingi Menyapa Warga Digital

Viral total. Mendunia. Tak kepalang tanggung. Berkat orisinalitas tarian bocah 11 tahun di ujung Jalur, Pacu Jalur Kuantan Singingi dinobatkan Kementerian Pariwisata sebagai pariwisata terpopuler.

Sebagai Pesta Rakyat kebanggan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Pacu Jalur bercikal bakal di abad ke-17. Kala itu jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.

Jalur (perahu) jadi satu-satunya alat angkut penting warga desa. Baik untuk hasil bumi maupun untuk mengangkut 40-60 orang. Belakangan muncul jalur-jalur dengan ukiran indah, kepala ular, buaya, harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya; ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Jalur adalah ‘perahu besar’ terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung (anak pacu).

Fungsi Jalur bergeser jadi penunjuk identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk yang mengendarai Jalur hias itu. Baru 100 tahun kemudian warga menyaksikan keberadaan Jalur yang menarik dan masif. Yakni dengan digelarnya lomba adu kecepatan alias Pacu Jalur. Mulai dikenal pada tahun 1903, pesertanya bisa mencapai lebih dari 100 Jalur.

Semula, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, Isra’ Mi’raj, Maulud Nabi. Semasa penjajahan Belanda digelar 31 Agustus hingga 1 atau 2 September untuk memperingati hari kelahiran Ratu Wihelmina, 31 Agustus.

Istilah lain untuk Pacu Jalur adalah Pacu Jalue, Pacu Jalugh, Patjoe Djaloer, Kanorace van Koeantan, Kanorace op de Batang Koeantan, Kanorace op de Inderagiri, Kuansing Boat Festival, Kanorace op de Inderagiri, Kuansing Boat Festival. Publikasi terawal yang menarasikan Pacu Jalur terbit tahun 1895 (abad ke-19 M), buku Jan Willem Ijzerman berjudul Dwars door Sumatra.

Aksi “tukang tari” cilik yang beraksi di ujung haluan perahu yang melaju kencang memicu decak kagum. Gerakan penari itu penuh karisma, penghayatan, dan keberanian. Fenomena inilah yang memicu gagasan tentang aura farming, satu praktik yang mengoptimalkan daya tarik visual dan emosional dari sebuah momen budaya untuk menciptakan gelombang viral masif, memosisikannya sebagai narasi baru dalam promosi pariwisata.

Konsep aura farming ini pada dasarnya adalah kemampuan mengekstrak dan memproyeksikan inti karisma, kekuatan, atau keindahan yang melekat pada individu atau aktivitas budaya. Kemampuan menciptakan momen visual kuat dan sarat emosi, seperti pada fenomena Pacu jalur menjadi kunci. Lebih dari popularitas instan, kita justru mengomunikasikan nilai-nilai luhur dan keunikan budaya dengan cara relevan bagi khalayak global.

Jika Pacu Jalur adalah kasus studi sukses, maka potensi “memanen aura” di seluruh Nusantara sejatinya tidak terbatas. Selain Pacu Jalur, Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan kekayaan budaya yang diakui UNESCO, melalui berbagai warisan tak benda, adalah museum hidup yang menyimpan “aura” tidak terhingga.

Coba simak Tari Saman dari Aceh, yang memancarkan “aura” sinkronisasi luar biasa ratusan penari yang bergerak serempak, menepuk dada, tangan, dan paha, dengan kecepatan dan presisi memukau. Juga Loncat Batu di Nias, Sumatera Utara, ritual yang memancarkan “aura” keberanian dan ketangkasan. Pun Wayang Kulit, yang menawarkan “aura” sang dalang dalam menghidupkan karakter wayang dengan lincah dinmis. Atau Tari Perang/ Cakalele di Maluku, yang memancarkan “aura” kegagahan dan semangat juang. Juga upacara Rambu Solo dari Tanah Toraja yang megah adalah ladang “aura” kehormatan dan spiritualitas.

Fenomena aura farming ini menegaskan keutamaan otentisitas, narasi kuat, dan kemampuan visual yang memukau. Riset pemasaran pariwisata modern, termasuk dari World Tourism Organization (UNWTO), menunjukkan bahwa pengalaman otentik dan cerita personal memiliki daya tarik jauh lebih besar ketimbang promosi massal yang generik.

Festival Pacu Jalur Kwansing dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu. Selain menarik wisatawan lewat event memukau ini, kita sebenarnya juga ikut membangun jembatan pemahaman antarbudaya. ●(Zian)

pasang iklan di sini