octa vaganza
Ragam  

Butuh Tambahan Lahan, Program Biodiesel Ancam Luasan Hutan Tersisa



JAKARTA—Greenpeace Indonesia mengingatkan program bahan bakar nabati (biofuel) berpotensi kuat menggerus luasan hutan tersisa untuk kepentingan ekstensifikasi lahan sawit.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arkian Suryadarma mengkritisi  Rapat Kerja antara Menteri Energi  dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  Arifin Tasrif dengan Komisi VII DPR RI pada 23 November lalu, antara lain dikatakan diperlukan tambahan lahan sawit sebanyak 15 juta hekatre untuk menggantikan kebutuhan minyak satu juta barel per hari.

Soal lahan, LPEM Universitas Indonesia juga telah melakukan kajian dampak program biodiesel. Salah satu hasilnya, diperlukan penambahan lahan sawit baru yang cukup masif.

“Ini sebuah sinyal penting bahwa program biodiesel hanya akan menimbulkan kerusakan hutan lebih luas,” kata  Arkian dalam keterangan persnya, Jumat (27/11/20).

Padahal Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030, dan sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang GRK terbesar. 

Menurut Arkian berdasarkan beberapa kajian, program biodiesel justru memberikan beban besar kepada perekonomian melalui kucuran subsidi yang masif, serta tidak signifikan dalam mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.

Biodiesel justru memerlukan dana subsidi yang jauh lebih besar. Hitungan LPEM UI, total subsidi yang diperlukan untuk program B50 mencapai Rp847 triliun.

“Saat ini, program biodiesel mendapatkan dana sebesar Rp2,78 triliun dari program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai respons terhadap pandemi Covid-19. Terlihat jelas bagaimana program ini membutuhkan sokongan besar dari negara,” kata Arkian. 

Lanjut dia, program biodiesel juga membutuhkan tambahan lahan sawit baru yang bisa mengarah kepada deforestasi besar-besaran.

Dari hasil simulasi untuk realisasi B50 saja selama kurun waktu 2021-2025, diperlukan luasan lahan produktif sebanyak 22,65 juta hektar hingga 2025. Bila mengacu pada luasan lahan produktif pada 2019 (13,36 juta hektar), maka diperlukan lahan sawit baru sebanyak 9,29 juta hektare.

Sementara model produksinya tidak berbasis intensifikasi, terbukti dengan program peremajaan sawit yang selalu tidak mencapai target, khususnya sepanjang 2017-2019.

Program biodiesel jelas bukan solusi untuk memperbaiki kondisi fiskal negara, dan akan makin memperburuk pelaksanaan komitmen Indonesia dalam memperbaiki iklim karena berorientasi pada deforestasi dan pembukaan lahan baru pada kawasan hutan.

“Sebab itu sangat keliru bila biodiesel digolongkan sebagai energi baru dan terbarukan,” pungkas Arkian. 

Exit mobile version