octa vaganza

“Bumi Itu Bulat”, Menyampaikan Pesan Toleransi Tanpa Menghakimi

Adegan dalam “Bumi Itu Bulat”-foto: Webma.

JAKARTA—-Rahabi (Rayn Wijaya) berusaha tidak gugup ketika memasuki ruangan kerja Melinda (Ria Irawan), dosen yang diberhentikan  dari perguruan tinggi tempatnya mengajar karena dituduh menyebar paham kebencian.  Dosen itu mengatakan apa yang dilakukan untuk menyelamatkan negeri dari  krisis moral.

Rahabi harus mendapatkan wawancara Melinda sebagai persyaratan agar Aisha (Febby Rastanty) mau bergabung dengan Grup Rujak Acapella . Kehadiran  Aisha  adalah persyaratan agar diterima produser untuk masuk dapur rekaman.

Untuk  bisa bertemu Melinda, Rahabi harus mempelajari banyak buku agar bisa diterima di komunitas keagamaan tempat Melinda  bergabung. Dia juga harus mau ikut menyebarkan pamlet yang berisi pemahaman  komunitas yangterbilang radikal  itu.

Demikian sejumlah adegan dari film “Bumi Itu Bulat” yang cukup penting bagaimana menyampaikan pesan toleransi tanpa harus memojokan dan menghakimi pihak tertentu.

Begitu juga dengan adegan perdebatan antara Aisha dan Rahabi, Aisha dan Tiara (Rania Putrisari) dalam beberapa adegan tentang apa itu hijrah, hubungan antara muslim dengan non muslim disampaikan (berupaya) dengan tidak menggurui. Intinya berbeda  itu tidak harus bermusuhan.

Sayangnya  “Bumi Itu Bulat” tanggung dalam hal ini. Karakter Aisha yang hijrah dari tadinya tidak berhijab dan penyanyi yang sempat populer menjadi begitu  keras memahami agama kurang bisa dipahami.  Masa begitu saja meninggalkan dunia menyanyi dan kemudian berbalik seratus delapan puluh derajat.

Sekalipun Sutradara Ron Widodo lewat berapa adegan menggambarkan, walaupun  termasuk “radikal” , seorang  Aisha sebetulnya masih mempunyai hati.

Ron Widodo dalam jumpa pers dengan media, Selasa (2/4/2019) mengakui sulit mencari pemeran karakter Aisha ini.  Seorang muslimah berpendirian berseberangan dengan Rahabi dan kawan-kawan, tetapi dia bukan tokoh antagonis.

Kekuatan film “Bumi Itu Bulat” justru pada interaksi antara Rahabi dan Aisha mempertahankan prinsip masing-masing  dan harus mengambil sikap tegas.  Perbedaan antara keduanya menggambarkan apa yang terjadi di Indonesia pada saat ini dengan cara hati-hati dan moderat.

Film “Bumi itu Bulat” diproduksi oleh Inspration Pictures, Indeosource Entertainment, Astro Shaw dan GP Ansor mencoba hadir sebagai film dengan nilai peduli terhadap toleransi antar umat beragama.

Film dengan pesan berat ini sebetulnya  bukan hal yang  baru karena pernah digarap Hanung Bramantyo dengan judul” Tanda Tanya” sekitar sepuluh tahun yang silam.  Dari segi cerita cara bertutur lebih baik.

Tokoh  utamanya Rahabi  bergabung dengan  grup musik acapella yang disebut Rujak Acapella.  Grup ini terdiri dari Hitu, muslim dari Ambon yang bercita-cita menjadi banser, karena mereka pernah membantu keluarganya saat kerusuhan Ambon, Markus seorang keturunan Tionghoa Kristen dan Sayid, seorang muslim Muhamadyah dari Minang yang ingin jadi novelis, serta Tiara seorang gadis yang sebetulnya menyukai Rahabi.

Rahabi diceritakan mempunyai ayah, Syamsul (Mathias Muchus) aktivis Banser yang hapir tidak punya waktu untuk  keluarganya.  Sang Ibu  sudah meninggal.  Rahabi mengambil alih tanggungjawab membiayai studi adik perempuannya.

Di sisi lain Grup Rujak Acapella menghadapi jalan sulit karena produser rekaman mensyaratkan Aisha bergabung.  Upaya Rahabi mengajak Aisha ini pada perkembangannya  mengubah hubungan dengan teman-temannya, juga dengan keluarganya menjadi menegangkan.

Sebuah kisah persahabatan, hubungan ayah dan anaknya dijalin dengan selingan nyanyian acapella, serta hubungan segitiga Rahabi dengan Tiara dan  Aisha berhasil digambarkan tidak menjadi cinta remaja seperti umumnya film remaja romantis.  Maksudnya film ini ditujukan dengan segmen kaum milenial.

Hanya saja saya kurang yakin apa iya pesan seberat itu akan sampaike generasi milenial, karena berapa persoalan intoleransi seperti penolakan pendirian rumah ibadah,  demo pembubaran banser lebih banyak menjadi  isu di kalangan yang lebih dewasa dan tokoh masyarakat, bahkan politisi yang seharusnya lebih bertanggungjawab.

Seharusnya hubungan antar personal yang berbeda di kampus lebih penting ditonjolkan, karena itu justru persoalan berkaitan toleransi di generasi milenial.

Selain  itu film yang bersetting di Surabaya ini tidak terasa menampilkan dialek Suroboyo-an.  Rasanya benar-benar Jakarta.  Mungkin maskudnya agar peran  Banser jadi logis(Irvan Sjafari).

Exit mobile version