
Peluangnews, Jakarta – Kendatipun sudah berhasil menulis 10 buku termasuk Ilmu Bedah Saraf dan biografi, Prof. Satyanegara mengaku perlu menyempurnakan cerita perjalanan karir dan riwayat hidup terutama fase masa pengabdian pada kesehatan masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi bedah saraf sampai hari ini. Buku biografi sebelumnya, yakni ‘Ayat-ayat Filosofi Satyanegara’, berisi kisah masa kecil sampai masa belajar di Jepang.
Baca juga : Filosofi Persaingan dan Ketekunan Ahli Bedah Saraf Prof.Satyanegara
Buku terbaru yang akan diluncurkan pada tanggal 1 Desember mendatang, berisikan kisah beliau sejak dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto ke tanah air untuk memajukan dunia kesehatan khususnya bedah saraf Indonesia sampai hari ini.
“(kisah) Welahan, desa kecil (di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah) tempat dimana saya dilahirkan, ada di buku yang baru. Waktu saya berusia 50 tahun (tahun 1988), sekolah tempat dimana kedua orang tua saya mengajar masih ada. Saya sempat sumbang meja pingpong. Saya juga temu pembantu yang ngemong (mengasuh) waktu saya masih anak-anak, namanya Sartipah. Waktu saya temui, Sartipah sudah berbaring,” kata Prof Satyanegara, Senin (13/11/2023).
Buku terbaru dengan judul “Senyum Samurai Satyanegara” ini, berisikan kisah beliau sejak dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto, dari Jepang dan langsung dipercaya menjabat direktur direktur RS Pusat Pertamina (RSPP), Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Buku tersebut nantinya, seri ke-11 yang ditulis langsung Prof. Satyanegara. Buku yang merupakan autobiografi Oei Kim Seng, nama asli beliau sebelum diubah oleh Presiden Soeharto menjadi Satyanegara saat dipanggil pulang dari Jepang, setelah berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran sampai jenjang Doktor serta Profesor di Jepang.
“Kisah masa kecil saya di Welahan, tepatnya antara Semarang – Jepara, juga bagian dari rasa ingin tahu. Tahun 1938, di desa kecil seperti Welahan, mobil saja tidak ada. Rasa penasaran saya, mengapa kedua orang tua saya menikah di Shanghai, sebagai salah satu kota besar, tapi mau merantau ke Indonesia. (lebih penasaran) saya berpikir, mengapa mereka memilih Welahan. Mereka, dua-duanya bekerja sebagai guru sekolah di Welahan juga,” ujar Prof. Satyanegara.
Ketika kembali ke Indonesia tahun 1972, dan menjabat direktur RSPP, ia sempat terus mencari tahu mengenai masa remaja kedua orang tuanya yang sama-sama merantau ke Welahan. Ia sempat temui tantenya yang menetap di luar negeri saat itu. Tapi ia tidak mendapat jawaban dari tantenya. “Saya bertanya kepada tante, mengapa kedua orang tua saya mau merantau ke kota kecil. (pertanyaan saya) tidak terjawab juga,” katanya.
Baca juga : Kilas Balik Bedah Saraf, Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp. BS
Ia meninggalkan Indonesia selama 14 tahun, tepatnya tahun 1958. Kembali ke Indonesia, sudah sepantasnya ia berpikir untuk memberikan sesuatu yang terbaik kepada kedua orang tuanya. Walaupun menjabat direktur RSPP, gaji secukupnya. Tapi Pemerintah memberikan fasilitas rumah di Jl. Kyai Maja Kebayoran Baru dan mobil.
“Tapi ibaratnya (ketika kembali ke Indonesia, tahun 1972) saya baru jadi dokter. Saya belum puas, belum bisa memberi yang terbaik kepada orang tua. Tapi mereka lihat saya, (perasaan) jauh lebih puas. Mereka puas karena cita-cita tercapai. Sejak saya masih kecil, terutama ibu saya yang berharap saya bisa menjadi dokter,” ungkap Prof. Satyanegara.
Rasa senang dan puas orang tuanya, mungkin saja karena ia dipercaya langsung oleh kepala negara, yakni Pak Harto (Presiden ke 2 RI). Fasilitas mobil dan rumah yang dekat dengan RSPP sempat menjadi kebanggaan juga. Tapi ibunya meninggal tahun 1975, sementara ayahnya meninggal tahun 1979.
Kisah dan perjalanan karirnya setelah pension dari RSPP, ia tuangkan dalam buku ke 11 tersebut. Kunjungan pertama ke Welahan tahun 1988, ternyata masih berlanjut sampai kunjungan kedua. Ia sempat mau kangen-kangenan dengan sekolah dan rumah yang ditempati saat masa kanak-kanak. Kedua kali kunjungan, ia sudah berusia sekitar 60 tahun.
“Saya di RSPP selama 26 tahun sampai terakhir masih dipercaya untuk menjabat. saya sudah terlalu lama dan tetap minta pension. Apa alasan, juga tertera dalam buku ke 11. Disitu juga ada, cerita-cerita waktu kunjungan ke Welahan,” tutur Prof. Satyanegara. (alb)