hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Bukittingi, Tuah & Marwah Bukik Kubangan Kabau

Bukittinggi dibangun di area perbukitan. Lokasinya dipilih yang tertinggi di antara 27 bukit sekitarna. Hasil studi dan konsensus para cendekia negeri sepakat bahwa kota penghasil keripik sanjai ini dibangun tahun 1784.

UNTUK sebuah kota yang luas wilayah 25,24 km², Bukittinggi itu kota tak besar yang colourful. Pernah jadi ibu kota Provinsi Sumbar, Provinsi Sumatera, bahkan ibu kota Republik Indonesia, semasa PDRI. Di kota yang identik dengan Jam Gadang, kembarannya Big Ben, founding fathers Moh Hatta dan Dasaat dilahirkan. Di bawah kota yang 22 Desember kemarin memperingati hari jadinya yang ke-237 ini pula imperialis Jepang membangun lobang labirin aneka fungsi.

Ditilik dari asal muasalnya, Bukittinggi itu sebermula merupakan salah satu nagari di Luhak Agam yang dahoeloe kala disebut Nagari Kurai. Penduduk awal di sana merupakan sebuah rombongan pencari kemudahan penghidupan yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Selain ke Nagari Kurai, sebagian anggota rombongan menyebar ke Nagari Canduang, Koto Laweh dan Banuhampu.

Iklim kota ini sejuk, dengan hamparan panorama Gunung Marapi dan Singgalang. Secara harfiah, nama Bukittinggi berarti bukit yang tinggi. Sesuai dengan wilayah geografis Bukittinggi yang berada di area perbukitan. Setidaknya terdapat 27 buah bukit di area Nagari Kurai. Dari ke-27 bukit tersebut, Bukik Kubangan Kabau adalah bukit tertinggi (936 mdpl).

Bukik Kubangan Kabau berada di bagian selatan. Letaknya strategis, yaitu menghadap ke Lembah Dataran Tinggi Agam dan Gunung Merapi. Bukik Kubangan Kabau pada masanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah oleh para penghulu di Nagari Kurai V Jorong. Berdasarkan kesepakatan, bukit tersebut berganti nama menjadi Bukik Nan Tatinggi (Bukit Paling Tinggi), lalu jadi Bukittinggi.

Pada masa penjajahan Belanda, daerah ini dikenal dengan sebutan de Kock, sebagainama nama benteng yang ada di sana. Didirikan tahun 1825-1826 di atas Bukik Jirek oleh Kapten Bauer, seorang Kepala Opsir Militer Belanda, mengambil nama Wakil Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Baron Hendrik Markus de Kock.

Di era awal kemerdekaan, Kota Bukittinggi merupakan pusat pemerintahan Sumatera Bahagian Tengah ataupun Sumatera secara keseluruhan. Bukittinggi bahkan pernah jadi pusat pemerintahan Republik Indonesia setelah Yogyakarta diduduki Belanda, Desember 1948 hingga Juni 1949.

Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih dikenal dengan Benteng “Fort de Kock”. Oleh pemerintah Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, karena di sini berkedudukan komandan militer ke-25. Nama “Taddsgemente Fort de Kock” berganti jadi “Bukittinggi Si Yaku Sho”.

Dari Desember 1948 sampai dengan Juni 1949 ditunjuk sebagai ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bukittinggi juga pernah menjadi ibu kota Propinsi Sumatera dengan  Gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Tahun 1959, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibu kota Sumatera Tengah, yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Setelah keresidenan Sumatera Barat menjadi Provinsi Sumatera Barat, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibu kota propinsi. Sejak tahun 1958 secara de facto ibu kota propinsi telah pindah ke Padang, pengukuhannya tahun 1978. 

Sektor perdagangan dan jasa merupakan sektor penyumbang utama pendapatan Kota Bukittinggiu, dimana hampir setengah pendapatan daerah pada tahun 2005  (43%) yang ditunjukkan dengan PDRB Kota Bukittinggi menjadi Pusat Pelayanan perdagangan dan jasa. Bukittinggi punya empat pasar induk pendukung aktivitas perekonomiannya,yakni Pasar Atas, Pasar Bawah, Pasar Banto dan Pasar Simpang Aur. Kota ini juga berpotensi di bidang industri. Di antara usaha industri yang cukup besar adalah industri Roti Kue Kering, industri Kerupuk, Moudelling Komponen Bahan Bangunan, industri Perabot, industri Kopi Bubuk.

Sebelum Jam Gadang, ikon Bukittinggi adalah Jenjang 40 (Janjang Ampek Puluah). Jenjang ini dibangun 1908, mendahului Jam Gadang (1926). Yakni saat Louis Constant Westenenk menjadi Asisten Residen Agam. Jenjang itu menghubungkan Pasar Bawah dan Pasar Atas Bukittinggi. Secara bersamaan, dibangun pula Janjang Gudang, Janjang Kampuang Cino, dan Janjang Pasa Lereng yang bersambung dengan Janjang Gantuang. Produk non-Belanda adalah Janjang Koto Gadang.Destinasi wisata anyar ini dijuluki “Tembok Cina”-nya Bukittinggi. Membentang 1 km di tengah rimbunnya pepohonan.

Sebenarnya Jenjang 40 memiliki lebih dari 40 anak tangga. Total anak tangga dari yang terbawah di trotoar Jalan Pemuda sampai ke daratan teratas adalah 100 buah. Jenjang 40 bagian atas menjadi bagian paling menantang bagi para pengguna jenjang. Sebab kemiringannya 45 derajat, dengan tinggi tiap anak tangga 25 cm.

Tak kalah dengan Grand Canyon di Amerika Serikat, Indonesia memiliki Ngarai Sianok, lembah alami sepanjang 15 kilometer. Selagi jalan-jalan di Ngarai Sianok, anda juga bisa mengunjungi berbagai destinasi lain di sekitarnya seperti Tabiang Takuruang yang tak kalah mempesona.

Rumah Kelahiran Bung Hatta dipugar tahun 1995, Rumah Kelahiran Bung Hatta dilestarikan sebagai museum untuk mengenang masa kecil sang Pahlawan Nasional.

Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang di dalamnya terdapat Lobang Jepang. Dari Fort de Kock terhubung langsung ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Penting dicatat, inilah salah satu kebun binatang tertua yang ada negeri ini, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan.

Lobang Jepang Bukittinggi dapat dikunjungi melalui Taman Panorama di Ngarai Sianok. Bunker yang panjangnya 1.400 meter ini memiliki 21 lorong yang dimanfaatkan untuk berbagai macam hal. Antara lain, ruang penyimpanan amunisi, ruang mata-mata, dan ruang penyiksaan. Untuk alasan keamanan, beberapa jalur di dalam objek wisata Bukittinggi dengan kandungan sejarah kelam ini ditutup agar pengunjung tidak tersasar ke mana-mana di persimpangan labirin goa.

Fort de Kock. Objek wisata bersejarah di Bukittinggi lainnya ini dibangun 1825 sebagai kubu pertahanan pasukan Belanda di masa Perang Padri. Benteng de Kock ini sempat hancur berkeping-keping, untunglah Pemprov Sumatera Barat memugarnya sehingga bermanfaatuntuk dijadikan destinasi wisata sejarah di Bukittinggi. Jam Gadang sudah ada sejak 1826. Itu hadiah Ratu Belanda untuk Sekretaris Kota kala itu. Didatangkan langsung dari Belanda. Diameter keempat buah jam itu 80 cm. Uniknya, angka empat pada jam ditulis dengan susunan 4 buah angka I Romawi (IIII), bukannya (IV) yang lazim. Mesin untuk menggerakkan jam gadang ini hanya diproduksi 2 buah di dunia, yakni Big Ben London dan Jam Gadang. Jam ini memang kembarannya Big Ben di London. Semasa kolonial Belanda, namanya “The Kurai Wilhelmina Tower”.●(

pasang iklan di sini