
PeluangNews, Jakarta – Upaya meningkatkan penanganan pengungsi di Indonesia terus menjadi perhatian berbagai pihak. Kebutuhan akan pendekatan yang lebih komprehensif, berkelanjutan, dan melibatkan banyak pemangku kepentingan semakin mendesak seiring meningkatnya kompleksitas isu migrasi global. Hal ini mengemuka dalam Workshop Ke-5 bertema “Pendekatan Multipihak dalam Eksplorasi Solusi Komprehensif bagi Pengungsi Luar Negeri di Indonesia” yang digelar secara daring pada 18 November.
Athiqah Nur Alami, Kepala Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa forum ini mempertemukan lembaga pemerintah, organisasi kemanusiaan, komunitas lokal, akademisi, dan sektor swasta untuk mencari strategi inovatif yang dapat melampaui bantuan jangka pendek. “Bersama, kita diharapkan dapat merumuskan strategi-strategi inovatif yang melangkah lebih jauh untuk mendukung para pengungsi selama masa menunggu,” ungkapnya.
Ia menyebut Indonesia telah memiliki landasan hukum melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Sejumlah kolaborasi juga telah berjalan, seperti penyediaan layanan pendidikan bagi anak pengungsi hingga inisiatif livelihood. BRIN pun telah menghasilkan riset terkait, termasuk mengenai akses pendidikan anak pengungsi dan peluang ekonomi digital.
Athiqah menegaskan bahwa workshop ini merupakan momentum penting untuk memperkuat kolaborasi, memperdalam pemahaman, dan menggali langkah perbaikan agar penanganan pengungsi di Indonesia semakin manusiawi dan inklusif.
Peneliti PRP BRIN, Faudzan Farhana, turut menyoroti kerentanan pengungsi yang telah lama tinggal di Indonesia. Banyak dari mereka telah bertahun-tahun menetap dengan akses terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan sosial. Ia menjelaskan karakteristik para pengungsi di masa menunggu: tinggal di wilayah urban, mobilitas terbatas, menerima bantuan tunai, serta berinteraksi positif dengan masyarakat, namun tetap menghadapi stigma dan risiko sosial.
Faudzan juga menampilkan praktik baik dari sejumlah kota seperti Makassar dan Kupang yang mengembangkan kolaborasi multipihak dan pendekatan humanis. Ia merekomendasikan perlunya pembaruan kebijakan keimigrasian, penguatan koordinasi, perluasan akses layanan dasar, dukungan kesehatan mental, serta pemanfaatan kartu UNHCR dalam administrasi nasional. Pendekatan inklusif, katanya, diharapkan dapat mengurangi kerentanan sekaligus membuka ruang partisipasi sosial-ekonomi bagi pengungsi.
Dari UNHCR, Emily Bojovic menegaskan bahwa berbagai tantangan masih dihadapi meski telah ada upaya kolaboratif dan rekomendasi dari workshop sebelumnya. Sementara itu, Caitlin McCaffrie dari IOM menjelaskan pendekatan peer learning sebagai metode kolaborasi lintas negara untuk menemukan solusi kreatif bagi kebijakan pengungsi.
Ling Hidah dari Makaila Haifa & Mishka Project memaparkan perjalanan inisiatif CSR yang berfokus pada pemberdayaan perempuan pengungsi melalui pelatihan fashion. Atin Prabandari dari IIS UGM menekankan pentingnya perspektif “humanitarianisme dari bawah,” yakni perlindungan yang tumbuh dari masyarakat.
Pada sesi penutup, Muntazir dari Refugee Talent Program (RTP) berbagi pengalaman mengenai sekolah dan pusat pelatihan yang dibangun oleh komunitas pengungsi sendiri di Bogor sejak 2022. Program tersebut menjadi ruang belajar, pemberdayaan, sekaligus pemulihan martabat bagi para pengungsi di Indonesia.







