hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

BPS: Masyarakat jangan Cepat Simpulkan Laporan Bank Dunia 60,3% Penduduk RI Miskin

BPS: Tren Deflasi Sejak Mei 2024 berakhir di Oktober 2024
Kepala BPS Amalia A Widyasanti/dok.tangkapan layar/peluangnews.id

PeluangNews, Jakarta – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti meminta masyarakat tidak terburu-buru menyimpulkan laporan Bank Dunia yang menyebutkan 60,3% penduduk Indonesia masuk kategori miskin, tanpa memahami konteks dan metodologi yang digunakan.

“Angka 60,3% itu bukan berarti lebih dari separuh rakyat Indonesia miskin dalam pengertian yang biasa kita pahami,” kata Amalia, di Istana Negara, Rabu (30/4/2025).

Dia menjelaskan, angka tersebut berasal dari standar garis kemiskinan Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah atas. Yakni, pengeluaran minimum US $6,85 per hari per kapita berdasarkan purchasing power parity (PPP) tahun 2017.

Menurut dia, penting untuk memahami bahwa angka tersebut bukan konversi langsung dari dolar ke rupiah dengan kurs saat ini.

“Basisnya adalah PPP tahun 2017, bukan nilai tukar sekarang. Jadi angka konversinya tidak bisa disamakan,” ujar Amalia.

Dia mengungkapkan standar global Bank Dunia tersebut bersifat referensi, bukan kewajiban yang harus diterapkan secara seragam oleh semua negara.

“Masing-masing negara memiliki garis kemiskinan nasional yang dirancang sesuai karakteristik dan kondisi unik negaranya,” jelasnya.

Indonesia sendiri, lanjutnya, memiliki sistem pengukuran kemiskinan yang mempertimbangkan standar hidup di tiap provinsi.

“Kita tidak menggunakan satu garis kemiskinan nasional untuk seluruh wilayah. Garis kemiskinan di DKI Jakarta tentu berbeda dengan Papua Selatan,” papar Amalia.

Dia mencontohkan, kebutuhan hidup dan harga barang pokok di DKI Jakarta tentu jauh berbeda dengan di provinsi lain, sehingga garis kemiskinan regional digunakan untuk mencerminkan realitas sosial-ekonomi setempat. Data ini kemudian diakumulasi untuk menghasilkan angka kemiskinan nasional.

Sebagaimana diberitakan, angka kemiskinan Indonesia yang mencapai 60,3% menurut laporan Bank Dunia memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerintah.

Tapi BPS menegaskan angka tersebut tidak dapat langsung diterapkan di Indonesia tanpa mempertimbangkan konteks lokal.

Amalia menjelaskan standar yang digunakan oleh Bank Dunia adalah garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah-atas, yaitu sebesar USD6,85 per kapita per hari. Namun, Indonesia masih berada di bawah batas tersebut dengan Gross National Income (GNI) per kapita sekitar US $4.800. Karena itu, standar tersebut tidak mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia secara akurat.

“Sebenarnya yang paling penting adalah bukan angkanya dan levelnya, seberapa cepat kita bisa menurunkan kemiskinan,” kata Amalia.

Dia menekankan garis kemiskinan harus disesuaikan dengan kondisi lokal. BPS menggunakan pendekatan garis kemiskinan nasional yang mempertimbangkan perbedaan biaya hidup antarprovinsi.

Sebagai contoh, garis kemiskinan di DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) karena perbedaan biaya hidup yang signifikan.

BPS juga mengadopsi standar internasional untuk kemiskinan ekstrem, yaitu USD2,15 per kapita per hari, sesuai dengan international poverty line yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Namun, untuk kategori kemiskinan lainnya, BPS menggunakan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan kondisi lokal.

“Tentunya di masing-masing negara itu ada national poverty line,” kata dia.

Amalia mengingatkan bahwa garis kemiskinan bukanlah indikator kesejahteraan secara keseluruhan. Garis kemiskinan hanya mencerminkan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukan pendapatan atau kualitas hidup secara keseluruhan.

Dia berharap masyarakat dapat lebih bijak dalam memaknai angka kemiskinan dan memahami bahwa standar yang digunakan harus sesuai dengan konteks lokal agar kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran. []

pasang iklan di sini