
Indonesia akan memasuki era bonus demografi antara tahun 2030 dan 2045, dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih dominan dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas), mencapai lebih dari 60% dari total populasi. Bonus demografi, mestinya, merupakan periode kunci yang memerlukan strategi matang (pemerintah) untuk memaksimalkan potensinya.
Istilah bonus demografi dikembangkan ekonom Harvard, David Bloom dan David Canning, menjadi pusat perhatian bagi generasi milenial. Mengetahui dan memahami fenomena ini menjadi penting, karena Indonesia diharapkan akan menghadapi perubahan signifikan. Indonesia, ujar Mardigu Wowiek, harusnya sejak 10 tahun lalu melakukan tiga hal: kemudahan doing business, sektor pendidikan dan keterampilan: skill yang cocok antara ilmu sekolah dan tuntutan pasar, investor asing hadapi masalah keamanan, ketidakpastian regulasi, dan tidak terintegrasinya infrasttuktur logistik dengan bahan baku dan pasar.
Alih-alih bicara dampak positif, jauh lebih realistis mengulik dampak negatifnya. Terlebih jika dikaitkan dengan iklim ekonomi global yang makin tak menjanjikan optimisme dan ekspektasi bagus. Yang akan terjadi adalah peningkatan pengangguran; kesenjangan sosial dan ekonomi yang memburuk jika tidak diimbangi dengan pemerataan akses pendidikan, teknologi, dan infrastruktur; Jika rasio ketergantungan (jumlah penduduk tidak produktif terhadap penduduk produktif) tinggi, beban sosial bagi penduduk usia kerja akan semakin berat.
Dengan kualitas sumber daya manusia usia produktif rendah, Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain yang memiliki kualitas SDM yang lebih baik. Dengan jumlah usia produktif mencapai 60%-70% dari total penduduk, peluang kerja yang tidak tersalurkan secara efektif dapat mengakibatkan lonjakan angka pengangguran. Persaingan di dunia kerja semakin ketat. Peningkatan jumlah lansia (aging population, demographic dividend) yang signifikan dan dominan dapat membawa dampak negatif.
Yang bisa memanfaatkannya bisa jadi negara kaya atau bahkan jadi negara super power. Bonus demografi Brazil dimulai tahun 1990-an dan berakhir pada 2018. Brazil telah mengalami era bonus itu, dan gagal. Terutama dalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Brazil gagal karena tidak melakukan reformasi ekonomi dan liberalisasi market.
Korea Selatan adalah negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografinya (1990-2010). Selama periode 1970-1990 pemerintahnya secara serius berinvestasi besar-besaran dalam sektor pendidikan, keterampilan teknologi dan infrastruktur. Demikian juga (pengalaman) Jepang dan Singapura. Dalam 20 tahun sebelum bonus demografi, dari 10% penduduknya yang tamat S1 melejit menjadi 70%. Sekarang Vietnam, sejak 2010 melakukan reformasi pendidikan yang link and match dengan kebutuhan tenaga kerja. Padahal, bonus demografi Vietnam 5 tahun setelah Indonesia, 2035–2050
Vietnam tampaknya bisa membuat 40-50% populasinya S1 pada tahun 2040. Indonesia? Saat ini sarjana S1-nya hanya 4,39% dari populasi. Dalam realitas begini, alih-alih bonus demografi, Konoha malah ketimpuk beban demografi.●
Salam,
Irsyad Muchtar