Diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di 2023 untuk menurunkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan yang terus melebar.
Berbanding terbalik dengan situasi global yang diproyeksi terancam resesi pada 2023, perekonomian Indonesia diyakini bakal melanjutkan tren pertumbuhan. Setidaknya ini terlihat dari sikap optimistis pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen.
Pemerintah mengklaim fundamental perekonomian semakin kuat seiring dengan penanganan pandemi yang berhasil. Perekonomian nasional pulih dengan pertumbuhan sebesar 5,72 persen per kuartal III 2022 yang ditopang dengan daya beli masyarakat yang terjaga dan ekspor yang meningkat.
Di tingkat global, Indonesia juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini tidak lepas dari semakin gendutnya pundi-pundi segelintir kelompok tajir. Bahkan pandemi Covid-19 pun tidak mampu merontokkan kekayaan kelompok tersebut. Kekayaan yang dimiliki orang Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Dalam laporan World Inequality Report 2022 yang dirilis World Bank, jumlah rata-rata kekayaan Indonesia telah meningkat empat kali lipat dalam lebih dari dua dekade terakhir. Sementara dalam laporan Forbes 2022, tercatat total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia mencapai US$180 miliar atau Rp2.815 triliun, naik dibanding tahun sebelumnya sebesar US$162 miliar.
Senada dengan Forbes, dalam laporan Wealth Report 2022 yang dirilis perusahaan konsultan properti ternama Knight Frank, menyebutkan jumlah orang super kaya Indonesia menempati peringkat kedua di ASEAN, mengungguli Malaysia dan Thailand. Populasi orang tajir melintir kita hanya kalah dari Singapura.
Orang super kaya ini biasa disebut sebagai orang dengan kekayaan bersih ultra tinggi (ultra high net worth individuals/UHNWI) yang atau orang dengan kekayaan minimal US$30 juta. Pada 2021, UNHWI di Indonesia jumlahnya ada 1.403 orang.
Dengan proyeksi ekonomi yang terus tumbuh dan kekayaan orang super kaya yang bertambah banyak, bukan berarti ekonomi Indonesia bebas dari masalah. Problematika pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan merupakan pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya bisa diatasi pemerintahan Jokowi, meski sudah hampir mengakhiri jabatan dua periodenya. Dalam bidang ketenagakerjaan, dibanding sebelum pandemi jumlah penganguran dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung meningkat. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2019, jumlah pengangguran mencapai 7,10 juta orang dengan TPT sebesar 5,23 persen. Kemudian pada Agustus 2022, jumlah pengangguran sebanyak 8,42 juta orang dan TPT sebesar 5,86 persen.
Jumlah pengangguran diprediksi akan melonjak pada tahun ini menyusul banyaknya pekerja yang terkena PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan, selama periode Januari-September 2022 ada sekitar 10 ribu orang yang terkena PHK. Selama periode tersebut pemecatan paling banyak terjadi di Banten, dengan jumlah korban PHK 3,7 ribu orang. Di urutan selanjutnya ada DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau.
Sementara menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) jumlah pekerja industri alas kaki serta tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat yang terdampak PHK sudah mencapai 79 ribu orang per November 2022. PHK terjadi karena omzet turun signifikan.
Menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, jumlah tenaga kerja industri padat karya yang terkena PHK tahun lalu sudah mencapai ratusan ribu orang, puluhan kali lipat lebih besar dibanding data Kementerian Ketenagakerjaan. PHK, kata Muhadjir, sudah mendekati 500 ribu, dan jika tidak segera ada pengendalian, PHK bisa mencapai 1,5 juta orang.
Selain industri padat karya, perusahaan startup pun banyak yang merumahkan karyawannya sepanjang tahun lalu. Setidaknya ada 19 perusahaan rintisan yang mem-PHK ribuan karyawannya untuk bisa tetap bertahan. Dengan situasi ketidakpastian ekonomi global, diperkirakan akan lebih banyak perusahaan startup yang akan melakukan PHK terhadap karyawannya pada tahun ini.
Sementara untuk kemiskinan, jumlahnya juga dipastikan melonjak jika menggunakan kriteria terbaru dari World Bank. Seperti diketahui, World Bank mengubah hitungan paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) atau kemampuan belanja dari 2011 menjadi 2017 yang dimulai sejak musim gugur 2022.
Dalam laporan bertajuk “East Asia and The Pacific Economic Update October 2022”, mengacu PPP 2017, World Bank menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$2,15 per orang per hari atau Rp32.812 per hari (asumsi kurs Rp15.261 per dolar AS). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di level US$1,90 per hari.
Selain itu, World Bank juga menaikkan ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class). Batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan dari US$3,20 menjadi US$3,65 per orang per hari. Sementara itu, batas penghasilan kelas menengah ke atas (upper- middle income class) dinaikkan dari US$5,50 menjadi US$6,85 per orang per hari.
Dengan perhitungan baru ini, sebanyak 33 juta orang kelas menengah bawah di Asia turun kelas menjadi miskin. Di Indonesia, sekitar 13 juta orang kelas menengah bawah akan turun level menjadi miskin.
Batasan kemiskinan versi World Bank itu tentu berbeda dengan ketentuan BPS. Menurut BPS, garis kemiskinan merupakan cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. Garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM).
Garis kemiskinan yang digunakan BPS pada Maret 2022 tercatat Rp505.469,00 per kapita per bulan dengan komposisi GKM sebesar Rp374.455,00 (74,08 persen) dan GKNM sebesar Rp131.014,00 (25,92 persen). Dengan kriterian tersebut, persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, atau 26,16 juta orang menurun 0,60 persen poin atau 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.
Pemerintah sendiri masih menggunakan ukuran kemiskinan dari BPS untuk menurunkan target kemiskinan menjadi 7,5 persen sampai dengan 8,5 persen pada 2023. Sampai saat ini belum ada keterangan resmi apakah pemerintah akan mengadopsi kriteria kemiskinan terbaru dari World Bank.
Dalam konstelasi kemiskinan global, Indonesia menduduki urutan 73 sebagai negara termiskin di dunia tahun 2022 versi laporan World Population Review dari World Bank. Pemeringkatan negara miskin itu didasarkan pada pendapatan nasional bruto atau gross national incomes (GNI) per kapita masing-masing negara, yang merupakan ukuran pendapatan total negara dibagi dengan populasinya. GNI per kapita Indonesia tercatat sebesar US$3.870 pada 2020.
Problem klasik lain yang tak kunjung terselesaikan , atau jika tidak ingin disebut bertambah parah adalah ketimpangan. Terdapat beberapa indikator yang bisa dipakai mengukur ketimpangan ekonomi seperti pendapatan, pengeluaran maupun kekayaan.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah menggunakan rasio gini berdasar data pengeluaran atau konsumsi penduduk. Rasio gini diperoleh dari data Survei ekonomi nasional (Susenas) yang rutin dilaksanakan pada Maret dan September setiap tahun.
Berdasarkan data BPS, rasio gini sebesar 0,384 pada Maret 2022, naik sebesar 0,003 poin dibandingkan September 2021.
Sedangkan di level internasional, untuk mengukur rasio Gini berdasarkan kekayaan penduduk sebuah negara umumnya merujuk pada Global Wealth Reports dan Global Wealth Databook yang dirilis setiap tahun oleh Credit Suisse, perusahaan keuangan terkemuka. Dalam hal ini kekayaan meliputi aset finansial dan aset nonfinansial, seperti tanah dan kendaraan.
Pada 2021, Indonesia dilaporkan memiliki jumlah penduduk dewasa (berusia 20 tahun ke atas) sebanyak 183,74 juta orang dengan total kekayaan US$3.405 miliar. Dalam populasi ini, yang memiliki kekayaan di atas US$10.000 dilaporkan sebanyak 66,8%.
Sedangkan yang memiliki kekayaan US$10 ribu-100 ribu sekitar 31,0%, dan memiliki kekayaan US$100 ribu-1 juta sekitar 2,0%. Hanya terdapat 191 ribu orang (0,1%) yang memiliki kekayaan di atas US$1 juta.
Dari data distribusi kekayaan penduduk dewasa Indonesia, Credit Suisse menghitung rasio Gini sebesar 0,782, jauh di atas perhitungan berdasarkan pengeluaran yang digunakan oleh BPS. Sementara dalam World Inequality Report 2022, terdapat ketimpangan kekayaan yang yang terlihat dari distribusi aset yang dimiliki kelompok 10% terkaya dengan 50% terbawah sejak 2001 hingga 2021.
Berdasarkan laporan tersebut, terlihat bahwa kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan rumah tangga nasional. Sementara 10% penduduk terkaya di Indonesia memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasional.
Grafik tersebut menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, mengutip penggalan syair dalam lagu Rhoma Irama yang berjudul “Indonesia”, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Sekadar mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia belum berubah, seperti berikut:
“..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..”. Oleh karenanya, ke depan sesuai konstitusi ekonomi yang berkeadilan perlu terus didorong daripada mengglorifikasi capaian pertumbuhan yang masih jauh di bawah kinerja pemerintahan sebelumnya. (Kur).