UNTUK realisasi Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), pemerintah masih dalam tahap edukasi. Rencana ini agaknya tak bakal semulus yang diperkirakan. Soalnya, pengenaan biaya isi ulang kartu uang elektronik dinilai kurang tepat. Biaya isi ulang itu bakal membebani masyarakat. Jika isi ulang uang elektronik langsung dikenakan, masyarakat bisa jadi tidak akan tertarik untuk menggunakan uang elektronik.
Masyarakat, ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, tidak seharusnya dibebankan biaya infrastruktur GNNT. Hal itu seharusnya ditanggung perbankan yang memang memiliki belanja modal untuk menciptakan pasar bisnis uang elektronik. Bank butuh stimulus agar mau mendukung GNNT. Selama in, kata Presiden Direktur PT Bank BCA Syariah John Kosasih, bank tidak dapat keuntungan sama sekali dari bisnis uang elektronik.
Menurut Enny, perlu ada kajian yang lebih mendalam mengenai pengenaan biaya ini. Sebab, meski murah, tidak semua orang mampu membayarnya. “Buktinya, di stasiun commuter line masih banyak antrean orang menukarkan Tiket Harian Berjaminan (THB). Pada kenyataannya, setiap isi ulang kartu uang elektronik di sini dikenakan biaya Rp2 ribu. Selaku otoritas yang menangani sistem pembayaran, Bank Indonesia (BI) sebelumnya menyebutkan kemungkinan biaya isi ulang uang elektronik antara Rp1.500 dan Rp2 ribu.
Atas pengenakan biaya isi ulang uang elektronik di halte Transjakarta, yang menerima ya pihak Transjakarta, bukan bank. Pengamat perbankan Paul Sutaryono menyebut, biaya isi ulang kartu uang elektronik akan jadi sumber pendapatan berbasis biaya (fee based income) bagi bank. Namun, bank punya pesaing yaitu perusahaan start-up. Mereka masuk ke bisnis uang elektronik berbasis server, bukan berbasis kartu. Bank akan kalah bersaing. Ini tantangan serius bagi bank.