Sampai akhir 2020, lebih dari 100 spot istimewa untuk paralayang yang tersebar di berbagai provinsi. Baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, maupun di Papua.

PARALAYANG (Inggris: paragliding) sebermula diperkenalkan dengan sebutan ‘terjun gunung’. Ini memang olahraga/hobi baru: merasakan terbang seperti burung. Nama ‘paralayang’ sendiri diresmikan tak serta merta. Yakni ketika Eksebisi Gantolle dan Terjun Gunung di Gunung Haruman Garut, 22—23 Mei 1993. Pada akhir tahun 1993 lahir pula PPI (Persatuan Paralayang Indonesia) sebagai organisasi pertama olahraga paralayang di Indonesia.
Paralayang di Tanah Air bermula pada tahun 1988. Seorang fotografer asal Prancis mengirimkan sebuah parasut paralayang ke Lody Korua. Ini sebenarnya kado imbal jasa atas ditemaninya Tim Ekspedisi Prancis ke Pulau Seram. Setelah sekian lama tersimpan, parasut ini dipinjamkan kepada Dudy Arief Wahyudi (alm), untuk selanjutnya dibawa ke Yogyakarta.
Berbekal parasut ini, Dudy dan Gendon Subandono mencobanya secara otodidak. Modal dasar keduanya hanya keseriusan membelajari buku manual yang ada. Itulah titik awal perkembangan olahraga paralayang yang dewasa ini makin tak asing ditemukan di mana-mana. Parasut tipe Drakkar Everest itu otomatis menjadi parasut pertama yang selanjutnya dimanfaatkan sejumlah orang untuk belajar.
Paralayang adalah olah raga terbang bebas dengan menggunakan sayap kain (parasut) yang lepas landas dengan hentakan kaki untuk tujuan rekreasi atau kompetisi. Penerbangnya biasanya lepas landas dari sebuah lereng bukit atau gunung dengan memanfaatkan angin. Angin dimanfaatkan sebagai sumber daya angkat yang menyebabkan parasut ini melayang tinggi di angkasa. Angin dibedakan menjadi, angin naik yang menabrak lereng (dynamic lift) dan angin naik yang disebabkan oleh termal (thermal lift).
Take off dan landing memerlukan angin dari arah depan. Dengan begitu, parasut akan terisi angin dan bisa mengembang. Lalu, atlet paralayang juga lebih mudah untuk mengarahkan/mengemudikan parasut. Dalam hal tail wind atau angin dari belakang, justru menyulitkan sang atlet baik saat take off maupun landing.

Di masa-masa awal kehadirannya, olahraga ini dikenal dengan sebutan olahraga terjun gunung. Boleh dibilang semacam terjemahan harfiah bahwa untuk bisa melayang seseorang mesti berada pada ketinggian tertentu (gunung). Empat tahun setelah parasut pertama diperkenalkan, tercatat cuma 5 parasut yang kita miliki. Lokasi yang dipakai untuk kegiatan paralayang saat itu adalah Puncak, Bukit Sentul, Lido (Jawa Barat), Pantai Parangtritis (Yogyakarta) dan Timbis (Bali).
Sampai akhir 2020, terdapat lebih dari 100 spot istimewa paralayang yang tersebar di berbagai provinsi. Baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, maupun Papua. Dari jumlah tersebut, menurut Gendon Subandono, hanya 15 lokasi yang menjadi tulang punggung perkembangan wisata paralayang. Enam lokasi di antaranya berada di Bali dan ditangani oleh empat operator wisata paralayang. Pelopor paralayang Indonesia yang juga anggota Asosiasi Penerbangan Tandem dan Paralayang Indonesia (APTIPI) Gendon Subandono menyebut, Indonesia memiliki lebih dari 100 spot paralayang untuk semakin dikembangkan.
Puncak, Jawa Barat, menjadi salah satu spot yang masif juga untuk perkembangan wisata. “Perkembangan di Sulawesi, khususnya di Manado dan Sulawesi Tengah, juga bagus,” tuturnya. Ada juga lokasi wisata paralayang di Kemuning, Sidomukti, dan Gunung Banyak di Jawa Timur. Tempat terakhir ini menjadi lokasi wisata paralayang karena diawali dari Pekan Olahraga Nasional (PON) XV. Lokasi lain yang layak dan potensial semakin berkembang adalah Sumatera Barat yang pada saat ini memiliki cukup banyak spot paralayang yang kondusif.
Wisata dirgantara paralayang sebenarnya telah dimulai sejak akhir 1993, Yakni ketika para atlet paralayang memperkenalkan parasut tandem. Hanya saja, proses perkembanganya sangat perlahan. Grafik kemajuan itu mulai membaik sejak 2010.
Selain menjadi tempat wisata, Bukit Paralayang sebelumnya merupakan tempat berlatih atlet paralayang dari berbagai daerah (Paskalis Dwiwanda). Meski spot paralayang yang ada tidak sebanyak di Gunung Banyak, Puncak, atau Bali; Sumbar menurut Gendon memiliki potensi yang besar.
Di Danau Toba punya tempat yang banyak dan sangat berpotensi untuk dikembangkan. Begitu juga di Sumbar, khususnya di Danau Maninjau dan Danau Singkarak, di samping beberapa tempat lain yang bisa diandalkan” ujarnya. Menurut dia, semakin dikembangkannya lokasi wisata paralayang, semakin maju lokasi tersebut dan sangat potensial tumbuh menjadi destinasi wisata baru.
Boleh dibilang, paralayang merupakan atraksi wisata yang menarik mata banyak pengunjung dan berbeda dengan wisata olahraga lainnya. “Paralayang bisa jadi atraksi tambahan agar pengunjung di destinasi wisata bisa lebih banyak yang datang,” ucapnya. Kegiatan paralayang semakin gencar dipromosikan sebagai salah satu wisata petualangan sejak 1995, meski belum secara masif diketahui masyarakat.
Wisata petualangan ini mulai dikenal dan peminatnya maningkat sejak 2005. Membaiknya minat masyarakat itu berkat para pelaku paralayang yang gencar mengembangkan lokasi baru. “Kegiatan kita berkembang secara hobi dan olah raga saja. Tapi mulai dari 2000-an, dari sisi prestasi, ada lonjakan tajam karena masuk PON,” kata Gendon. “Tahun 2000-2019 itu prestasi paralayang Indonesia cukup meningkat tajam. Dari sisi pariwisata, kegiatan wisata sudah mulai sejak 1995,” lanjutnya.
Wisata paralayang kini tak hanya dapat dijumpai di Yogyakarta atau Karanganyar. Di Boyolali, tepatnya di Desa Senden, Kecamatan Selo, juga ada. Spot olahraga paralayangini berada di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Senden, Kecamatan Selo. Pecinta paralayang bisa menikmati keindahan alam dari ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Selain angin yang mendukung, atlet paralayang bisa menikmati keindahan Gunung Merapi dan Merbabu.

Di lokasi ini anginnya bagus. “Jarang sekali tail wind, paling kalau sore menjelang maghrib. Itu pun jarang-jarang. Selain itu, panoramanya bagus. Di sisi kiri kita atau utara ada suguhan view Gunung Merbabu, di sisi kanan atau selatan tersedia pemandangan Gunung Merapi. Lalu, dari arah depan, kota Solo sekitarnya juga kelihatan cantik sekali,” ujarnya.
Tanpa disadari, menfaat kehadiran paralayang terasa lebih dari sekadar sarana hobi atau prestasi. Perkembangan terakhir yang sangat mempengaruhi dinamika olah raga ini adalah ketika paralayang menjadi salah satu wisata petualangan dirgantara. Semakin banyak spot lokasi terbang dengan komunitas yang membesar dan meningkatnya wisata alam, paralayang niscaya mendapat imbas positif dari perkembangan tersebut.●(Zian)