Akumulasi utang BUMN yang Rp1.600 triliun nyaris tak masuk akal. Kelompok Karya, PLN, Garuda, PTPN, Krakatau Steel, KAI seperti berlomba. Potret kelolaan keuangan negara yang serampangan dan korup. Ini bom waktu yang dahsyat.
APA bener utang luar negeri pemerintah cuma Rp7.600 triliun? Jumlah ini belum 60% dari PDB nasional yang Rp16.000 triliun. Plafon 60% adalah batas pejabat tidak di-impeach oleh konstitusi. Bagaimana cara aman dalam kelolaan utang sedemikian besar itu. Jurus untuk itu lumayan dungu. Dalam APBN dibuat ada utang yang dicatat ada yang tak dicatat/tidak dipublikasikan. Simpel.
Posisi BUMN diplot abu-abu. BUMN jadi alat untuk membangun. “Tapi, kalau perlu uang, BUMN dianggap unit independen sehingga bisa berutang atas nama korporasi,” ujar Mardigu Wowik. Untuk proyek-proyek pembangunan seperti infrastruktur yang sangat mahal dan diproyeksikan sulit BEP, tentu harus dilaksanakan pemerintah.
Amerika praktikkan itu tahun 1930-an, pakai dolar; Tiongkok tahun 1980-an pakai renminbi. Berbeda ekstrem dengan Indonesia yang membiayai pembangunanya total jenderal pakai dana utangan. BUMN meminjam langsung kepada funder/asing. Jaminannya aset korporasi. Asing pintar: BUMN diposisikan terkait dengan Kementerian hingga bisa mengikat dengan jaminan negara/APBN secara tidak langsung. Hanya kalau gagal/wanprestasi APBN yang bayarin.
Posisi funder aman. Hasilnya, total pinjaman BUMN menjadi Rp6.000 triliun. Hebatnya angka ini tidak tertulis di APBN, diumpetin. Hanya kalau berdarah-darah saja BUMN minta induknya (APBN) membiayai triliunan rupiah. Seharusnya BUMN nggak disubsidi. Sayangnya BUMN (sejak era Soeharto) jadi sapi perah, bukan korporasi profit untuk rakyat dan negara.
Di sini BUMN memainkan perannya, mengcover proyek berlandaskan aset BUMN. Itu sebabnya BUMN merugi, karena proyeknya tidak strategis ekonomis. Lagi pula harga BUMN itu supermahal. “Soalnya, semua orang penting itu main. Mainin uang dengan mencekik subkontraktor hingga terlambat sampai tahunan. Jadi, BUMN-lah yang bagi-bagi kue korupsi,” kata Mardigu.
Ikhtisar rekapitulasi nyungsep sejumlah BUMN sebagai berikut:
PLN. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN punya utang Rp451 triliun pada 2020. Sepanjang 2015-2020, utang PLN bertambah Rp199 triliun. Posisi itu dianggap masih wajar. Ekonom Faisal Basri, misalnya, mengatakan sebagian besar utang PLN dipakai untuk investasi. Antara lain untuk penambahan aset berupa pembangkit total 10.000 megawatt, transmisi sepanjang 23.000 km sirkuit, dan gardu induk total 84.000 MvA. “Hanya sebagian kecil untuk menjaga cash flow,” ujarnya.
Waskita Karya. Terlilit utang Rp90 triliun hingga akhir 2019. Utang itu berasal dari mandat yang diterima perseroan untuk menuntaskan sejumlah penugasan pemerintah, yakni 16 ruas tol. Sebelumnya, utang Waskita sekitar Rp20 triliun. Waskita membukukan liabilitas, termasuk utang, senilai Rp84,37 triliun per 31 Maret 2023, setara 86% dari total asetnya yang Rp98,2 triliun. Dari laporan keuangan pada Kuartal I/2023, tercatat utang jangka pendek Rp21,23 triliun dan utang jangka panjang Rp63,13 triliun.
Wijaya Karya.Dalam laporan keuangannya per 31 Maret 2023, Waskita Karya masih memiliki liabilitas termasuk utang sebesar Rp84,37 triliun. Meski masih besar, jumlah ini turun dibanding posisi akhir Desember 2022 yang Rp83,98 triliun. Liabilitas termasuk utang tersebut terdiri dari, jangka pendek Rp21,23 triliun dan jangka panjang Rp63,13 triliun.
Garuda Indonesia. Pada 2021, utangnya Rp70 triliun. Jumlahnya terus bertambah sekitar Rp1 triliun setiap bulan untuk biaya sewa dan perawatan pesawat. Pada 2020, utang itu meningkat hingga 229 persen, akibat penerapan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 73. Total utangnya pada 2020 naik menjadi US$12,73 miliar dari posisi per 31 Desember US$3,8 miliar. Artinya, terdapat selisih US$8,85 miliar untuk posisi utang atau liabilitas pada 31 Desember 2019 dan periode yang sama 2020. Di sisi lain, penerapan PSAK 73 menyebabkan nilai aset Garuda naik 142 persen. Dari US$4,45 miliar pada 31 Desember 2019 jadi US$10,78 miliar.
PTPN. PT Perkebunan Nusantara memiliki utang US$3,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun. PTPP membukukan liabilitas, termasuk utang hingga 31 Maret tahun ini senilai Rp43,81 triliun, setara 74,7% dari total asetnya yang berjumlah Rp58,7 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari posisi 31 Desember 2022 (Rp42,79 triliun). Ini angka akumulasi dari utang jangka pendek Rp26,61 triliun dan utang jangka panjang Rp17,19 triliun.
Krakatau Steel. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. tercatat memiliki utang US$2 miliar atau Rp31 triliun (kurs Rp15.500). Ini karena investasi US$ 850 juta untuk proyek blast furnace yang mangkrak. “Ini hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi dan akan kita kejar siapa pun yang merugikan,” ujar Menteri BUMN Erick Thohir.
KAI. PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI memiliki utang Rp15,5 triliun pada 2020. Terdiri atas utang modal kerja, obligasi, dan utang jangka panjang. Sebanyak 58 persen utang berasal dari penugasan pemerintah. Kondisi keuangan perseroan sangat terdampak pandemi Covid-19. Khususnya dari angkutan penumpang yang sebelumnya berkontribusi hampir 40 persen dari total pendapatan.
Adhi Karya. Tercatat memiliki jumlah liabilitas termasuk utang Rp30,29 triliun per akhir Maret 2023, setara 77,4% dari total asetnya yang Rp39,2 triliun. Jumlah tersebut turun dibandingkan posisi akhir Desember 2022 (Rp31,16 triliun). Dari laporan keuangan yang dirilis, liabilitas termasuk utang tersebut terdiri dari kewajiban jangka pendek Rp23,37 triliun dan jangka panjang Rp6,91 triliun.
DALAM pencermatan Mardigu, dengan menyertakan utang BUMN, total utang pemerintah Rp17.500 triliun! (Contingency debt + utang langsung + utang dana pensiun = 7.600 + 6.000 + 4.500). Bukan Rp7.600 triliun. Prediksi Said Didu sekitaran segitu juga. Sekian persen di antaranya niscaya dikorup. Menkopolhukam, Mahfud MD, bilang korupsi saat ini jauh lebih buruk dibanding masa Orba. Bukan jumlahnya, melainkan kondisi korupsi yang makin meluas di segala lini.
Pada masa Orde Baru, kata Mahfud, pemerintahan Presiden Soeharto sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani. Dulu korupsinya terkoordinasi.
Kondisi itu kini berbeda jauh. Korupsi dilakukan secara individu. “Sekarang coba anda lihat ke DPR, korupsi sendiri; MA korupsi sendiri; MK hakimnya korupsi; kepala daerah; DPRD semua korupsi sendiri-sendiri,” ujar Mahfud. “Karena apa? Atas nama demokrasi. Di bawah demokrasi, (seakan) bebas melakukan apa saja. Pemerintah tidak boleh ikut campur.”●(Zian)