JAKARTA—Pemerintah tidak melakukan antisipasi kenaikan harga daging sapi di pasaran. Salah satu faktor yang diabaikan ialah Australia sebagai pemasok sapi sudah memberikan sinyal pada tahun lalu.
Menteri untuk Wilayah Utara Australia, David Littleproud, pertengahan tahun lalu sudah mengungkapkan soal krisis ternak sapi di negaranya, karena adanya perubahan cuaca besar-besaran di Australia.
Ketua Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Indonesia (Jappdi), Asnawi, membenarkan berkurangnya pasokan sapi impor Australia memicu kenaikan harga daging sapi di beberapa wilayah di Indonesia.
Sementara itu di Australia, terjadi pengurangan kapasitas ekspor dari 80 persen menjadi 44 persen. Hal itu dikarenakan produksi sapi di Australia belum pulih 100 persen. Dengan pasokan sapi di Australia berkurang, harga sapi impor mengalami kenaikan.
“Pasokan sapi impor dari Australia kurang. Sedangkan, kebutuhan sapi siap potong di tiga provinsi yaitu Jakarta, Banten, dan Jawa Barat 93 persen pasokan sapi dari Australia, tujuh persen sapi lokal,” kata Asnawi, Senin (28/2/22).
Sebagai catatan, pada Juli 2021, harga beli sapi bakalan yang masuk Indonesia USD3,6 per kilogram bobot hidup sampai kemudian naik USD3,8 per kg bobot hidup hingga Desember. Pada Januari 2022, terjadi kenaikan dari posisi USD3,8 per kg bobot hidup menjadi USD4,2 dan akhirnya mencapai USD4,5 pada Februari.
Menurut Asnawi harga beli USD4,5 sudah sangat tinggi dan tidak lagi mampu ditekan, sehingga tuntutan pedagang untuk turun ke posisi Rp51.000-Rp52.000 sangat tidak mungkin terjadi.
“Kita harus tahu keadaan pasar global. Saat ini sedang terjadi krisis pangan dunia, termasuk industri hewan ternak, sehingga negara-negara dunia bersaing untuk memenuhi pasokan,” ucap Asnawi.
Asnawi mengatakan kondisi itu menjadi alasan JAPPDI menarik diri dari mogok jualan. Sebab, lanjutnya, titik tawar yang paling rendah dan mungkin adalah Rp53.000 per kilogram bobot hidup.