Denpasar (Peluang) : Saat usahanya terpuruk dampak Covid-19, Sany mendapatkan akses pembiayaan dari KemenKopUKM, hingga produksi tas kulitnya terus meningkat.
CV Real Issue, produsen tas kulit menjadi salah satu contoh usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang mendapat berkah dari adanya program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Usaha yang dimiliki oleh Sany Kamengmau menjadi kian moncer setelah mendapatkan fasilitasi akses pembiayaan usaha kecil mikro (UKM) oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) melalui PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI.
Sany, pria kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT) ini mengaku mendapatkan akses pembiayaan KUR Kecil yang difasilitasi oleh KemenKopUKM sebesar Rp500 juta.
KUR Kecil ini dikatakan Sany, sebagai salah satu penyelamat utama dari krisis akibat pandemi Covid-19 sehingga usaha yang digeluti sejak tahun 2000 lalu tetap bertahan hingga saat ini. Bahkan kini order tas kulit hasil kreatifitasnya kebanjiran order dari Jepang dan Australia.
Sany mengatakan, pandemi Covid-19 sempat membuat usahanya hampir gulung tikar, lantaran orderan sepi dan modal usahanya tergerus untuk kebutuhan sehari-hari.
Beruntung bagi Sany, upaya mengajukan akses pembiayaan kepada KemenKopUKM direspons cepat dan kemudian difasilitasi dengan salah satu bank BUMN penyalur KUR melalui kegiatan pendampingan akses pembiayaan UKM.
Secara perlahan dengan modal KUR itu, usaha Sany kembali bangkit dan menggenjot produksinya seiring orderan yang mulai terus mengalir.
“Saya dapat KUR dari BRI yang difasilitasi KemenKopUKM sebesar Rp500 juta. Pembiayaan itu sangat penting dan berarti bagi kami. Dana itu kami gunakan untuk belanja bahan baku, membayar ongkos kerja/gaji dan untuk mempersiapkan modal kerja orderan berikutnya,” ucap Sany dalam rilisnya, Sabtu (19/11/2022).
Produk tas kulit produksi Sany, diorder oleh pembeli langsung (direct buyer) asal Jepang dan Australia.
Dalam sebulan order dari Jepang rata-rata 300-400 buah tas. Buyer asal Jepang ini menjadi pelanggan utamanya sejak tahun 2003. Sementara order dari buyer Australia, dalam dua bulan sebanyak 100 buah tas.
Sany mengaku sempat mencapai peak season pada tahun 2007-2017 dengan mengekspor tas kulit ke Jepang hingga 4.000 buah setiap bulannya.
Namun sejak Covid-19, orderan turun drastis, sehingga terpaksa Sany harus memangkas jumlah tenaga kerjanya. Saat ini jumlah tenaga kerja yang masih dipertahankan sebanyak tujuh orang.
“Jumlah tenaga kerja sebelum Covid-19 itu sekitar 30 orang. Tapi setelah pandemi ini sementara baru bisa mempekerjakan tujuh orang. Tapi kami sesuaikan dengan pesanan. Kalau ada peningkatan pesanan, kita bisa tambah tenaga kerja,” ujarnya.
Sany berharap ke depan dengan dukungan pemerintah melalui fasilitasi dari KemenKopUKM, usahanya bisa kembali meraih masa emasnya.
Untuk itu, Sany berharap ada program lain seperti bantuan perluasan akses pasar hingga dukungan penguatan SDM tenaga kerjanya. Dengan begitu tas kulit hasil tangan manis dari para karyawannya bisa diterima di pasar luar negeri selain Jepang dan Australia.
“Kami berharap bisa mendapat akses yang lebih mudah dan lebih luas untuk bisa memasarkan produk kami ke negara lain seperti UK (United Kingdom), Eropa dan Amerika. Kami berharap sekali, bisa diikutkan dalam kesempatan pameran di luar atau di dalam negeri khususnya yang difasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM,” ungkap Sany.
Kendala Produksi CV Real Issue
Dalam menjalankan bisnisnya, Sany mengakui tidak lepas dari kendala dan rintangan. Namun tekad dan semangat yang kuat kendala tersebut berhasil diatasi sehingga usahanya tetap eksis hingga hari ini.
Menurutnya, salah satu kendala yang dihadapi adalah jadwal yang ketat dari buyer terutama Jepang. Etos kerja yang besar dan disiplin yang kuat dari buyer Jepang tersebut menuntutnya harus menyesuaikan diri.
Padahal dalam memproduksi satu item tas kulit saja dibutuhkan ketelitian dan kejelian yang tinggi agar tidak ada kesalahan. Hal itu mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian satu produk lebih lama.
“Kerja dengan orang Jepang itu sangat sulit sebab menuntut kita disiplin tinggi, dia juga mengedepankan kualitas tinggi. Awal mula sulit tapi motivasi saya kuat untuk membuat produk yang bagus dan sesuai dengan standar yang dia inginkan,” tutur Sany.
Kendala lain yang pernah dihadapi selain faktor modal kerja adalah uji sampel yang butuh waktu lama. Menurutnya, buyer dari Jepang tersebut kerap mengirimkan desain model tas dalam bentuk sketsa. Dari desain itu, Sany harus berpikir keras untuk menerjemahkannya menjadi produk.
Beberapa kali, lanjut Sany, sampel yang dibuatnya mendapatkan catatan dari buyer. Sehingga produk sampel tersebut harus bolak-balik dikirim ke buyer.
“Sampel itu dibuat berulang, kira-kira sampai enam bulan sampai barang itu bisa masuk sesuai standar pasar yang diinginkan Jepang. Kadang mengartikan desain dengan mewujudkan dalam produk jadi itu berbeda,” ungkap Sany.
Meski penuh dengan tantangan, Sany Kamengmau menjadi salah satu contoh pelaku UKM yang patut dijadikan kiblat oleh pelaku UKM lainnya di Indonesia. Pasalnya Sany sangat taat terhadap kewajiban pajak.
Komitmennya untuk patuh dalam membayar pajak ini dianggapnya sebagai salah satu timbal baliknya terhadap negara yang sudah membantu membangkitkan usahanya yang sempat terpuruk akibat Covid-19.
“Kita juga menjadi pembayar pajak yang taat. Dalam setahun rata-rata kami membayar pajak itu hingga Rp 20 juta. Kami tidak bisa merekayasa atau memanipulasi pajak sebab petugas pajak itu gampang sekali mengecek dan menghitung jumlah pajak kami dari produk yang kami ekspor itu,” jelasnya.
Siap Garap Pasar Domestik
Sany menambahkan, punya rencana untuk menggarap pasar domestik. Namun yang utama adalah pemenuhan pasar ekspor ke Jepang dan Australia yang sudah lama menjadi pelanggan.
Untuk pasar domestik direncanakan akan digarap melalui pasar digital atau online. Produk-produk tas kulitnya akan dipasarkan melalui platform digital.
Selama ini dia belum terlalu aktif memasarkan di pasar domestik karena kewalahan untuk memenuhi pasar ekspor.
“Pasar domestik memang kami punya rencana untuk bisa masuk ke pasar lokal. Kami harap tahun depan bisa mulai launching untuk produk pasar lokal. Kami yakin bisa mendapat pasar tersendiri, karena kami punya ciri khas sendiri yang tidak dimiliki produk lain,” ucap Sany.
Menurutnya, pasar domestik ini masuk dalam rencana jangka pendek yang akan mulai digarap serius di tahun depan.
Saat ini Sany bersama istrinya sedang mempersiapkan untuk menyasar konsumen dalam negeri dengan membangun tempat untuk menampilkan produknya (showcase) sambil mempersiapkan infrastruktur untuk menggarap melalui digitalisasi.
Sementara untuk jangka panjangnya, Sany menargetkan penambahan pasar ekspor lain. Selain pasar tradisional yang sudah bermitra sejak lama.
“Jangka panjangnya kami berniat meningkatkan produksi. Saya juga berharap Covid-19 segera berlalu karena sebenarnya peluangnya sangat besar untuk usaha yang kami geluti ini terutama untuk diekspor,” lanjut Sany.
Dengan target jangka pendek dan jangka panjang ini, Sany berharap perusahaan kecil yang sudah lama dibangunnya ini ke depan bisa semakin banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Sany bermimpi suatu saat usahanya semakin maju sehingga bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal. Dengan begitu secara tidak langsung, ia bisa membantu ekonomi masyarakat sekitar.
“Harapan saya ke depan, saya bisa meningkatkan produksinya karena dengan begitu saya bisa lkebih banyak merekrut pekerja, bisa membantu supplier kulit dan supplier aksesoris. Alhamdulillah berkat usaha ini kami bisa berkontribusi kepada lingkungan,” ucapnya.
Kilas Balik CV Real Issue
Sany Kamengmau tidak menyangka tekad untuk memperbaiki ekonominya dengan belajar bahasa asing menjadi jalan mengubah nasibnya. Dari semula yang hanya bekerja sebagai satpam di sebuah hotel di Bali. Kini berbalik menjadi bos tas kulit kualitas ekspor yang berkantor di Badung, Bali.
Sany menceritakan bahwa bahasa menjadi salah satu pintu masuk baginya untuk mendapat kesempatan hidup lebih baik. Setiap gajian kala ia menjadi satpam, ia gunakan untuk membeli kamus bahasa Jepang dan Inggris serta buku-buku lainnya. Secara otodidak dia terus belajar bahasa asing tersebut.
Selang beberapa waktu, akhirnya Sany mampu berbahasa Jepang dan Inggris meski terbatas. Dari situ, setiap mendapatkan tamu, Sany mencoba menjalin komunikasi yang baik sambil melatih keterampilan berbahasa asing.
Dari aktifnya berkomunikasi dengan orang asing itu. Sany mendapatkan “juragan” dari Jepang. Sehingga ia mendapatkan kepercayaan untuk membantu bisnisnya yang ada di Indonesia.
“Saya waktu itu bantu-bantu mencarikan souvernir dan lainnya termasuk membantu bisnis pakaian di Bali. Dari situ lama-lama saya ada ide untuk bikin tas kulit,” ujar Sany.
Bahkan kata Sany, juragannya itu juga membantu atau mengajari cara membuat tas dengan ragam desain.
“Juragan saya ini membantu saya bagaimana membuatnya dan akhirnya saya kembangkan sehingga bisa memenuhi spesifikasi tas sesuai permintaannya,” tambah Sany.
Dari semula yang hanya membantu bisnis orang Jepang di Indonesia, akhirnya karena kedekatan emosional dan kepercayaan yang tinggi, Sany diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk membantunya memenuhi permintaan tas kulit.
Seiring waktu berjalan, kepercayaan dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya bertambah lagi. Itulah alasannya Sany memutuskan membuat CV bernama Real Issue, dengan dibantu beberapa karyawan di awal berdirinya.
“Usaha saya ini di bidang kerajinan kulit di bidang tas. Sudah saya gelutin sekitar 22 tahun dimulai sejak tahun 2000 hingga saat ini,” pungkasnya.