hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Berdikari Membangun Negeri

Setelah alot berdalih dan berkelit dengan berbagai pembenaran, Sri Mulyani menyakui bahwa membangun dengan hutang itu tak sehat. Maka, ketika Sandiaga Uno muncul dengan gagasan yang logis dan nasionalistik, sang Menkeu dengan cepat unjuk apresiasi.

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung gagasan calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno. Bersama pasangannya, Prabowo Subianto, jika terpilih, Sandi menyatakan siap membangun infrastruktur tanpahutang. Kebijakan ini, kata Menkeu, akan membuat perekonomian dan keuangan Indonesia jadi sehat. Ketergantung Indonesia yang begitu besar pada hutang luar negeri, khususnya sejak 2014, dinilai para pakar ekonomi dan politik sebagai langkah blunder.

Menkeu Sri Mulyani menyebut, “Membangun infrastruktur tanpahutang itu bagus. Ini akan menjamin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan negara yang sehat, dimanahutang semakin kecil. Itu saya sangat hargai sekali.” Sampai di sini terlihat adanya paradoks. Tak sinkron antara yang dinyatakan dengan apa yang dipraktikkan sepanjang lebih dari 4 tahun sebagai kebijakan rezim.

Dalam banyak kesempatan, Sri selalu mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent atau hati-hati. Dia juga mengaku concern dengan hutang. Dalam pernyataannya paling anyar, membangun infrastruktur tanpahutang menjadi sangat penting karena akan menyehatkan APBN. Di sisi lain, kendati jumlah hutang terus membengkak, bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu selalu menyebut masih aman karena rasionya dibanding PDB masih jauh di bawah batas 60% yang diamanatkan UU.

Hutang luar negeri (ULN) Indonesia sampai triwulan III-2018, berdasarkan data Bank Indonesia, mencapai US$359,8 miliar. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN naik 4,2% (yoy). Jumlah ini meliputi hutang pemerintah dan bank sentral sebesar US$179,2 miliar, serta hutang swasta termasuk BUMN US$180,6 miliar. Dengan kurs dolar sekitar Rp14.613/US$, makahutang yang US$359,8 miliar itu setara dengan Rp5.258 triliun.

Menarik dipersoalkan, mungkinkah dukungan Sri terhadap rencana kebijakan Prabowo-Sandi—yang akan membangun infrastruktur tanpa utan—mengisyaratkan dia nyaris ‘lempar handuk putih’? Pasalnya, jumlah hutang yang kelewat gede memang amat merepotkan. Di ring tinju, kalau pelatih sudah melempar handuk putih, artinya menyerah. Bayangkan, dalam skema APBN 2018, alokasi pembayaran bunga plus pokokhutang mencapai Rp604,4 triliun.

Jumlah superjumbo itu terdiri atas pembayaran bunga sebesar Rp249,4 triliun dan cicilan pokok Rp355 triliun (angka ini tidak dimunculkan di APBN). Alokasi untuk membayar cicilan dan pokokhutang ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pendidikan yang sesuai amanat UU minimal 20%, yaitu Rp444,1 triliun. Juga lebih gede dibanding alokasi untuk infrastruktur yang sangat dibanggakan itu, Rp410,4 triliun.

Diam-diam, ternyata anggaran untuk membayar hutang telah melahap 37% dari pendapatan perpajakan. Itulah barangkali sebabnya Sri tampak antusias jika gagasan Prabowo-Sandi bisa direalisasikan. “Mungkin ini bisa jadi exit strategy dari ‘napasnya yang hampir putus’ karena kepayahan mengelola APBN,” ujar Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS). Jadi, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias out of the box. Pemerintah (sebenarnya telah lama) dituntut inovatif dan kreatif.●

pasang iklan di sini