Komunitas pemburu hama (menjawab kelebihan populasi babi hutan, tikus, tupai, monyet) lahir begitu saja di berbagai wilayah di Nusantara. Kearifan tradisional yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem ini dikenal sejak berabad silam.
KESEIMBANGAN ekosistem di bumi sangatlah penting demi menjaga keteraturan kehidupan. Keseimbangan ini bisa terjaga dengan terciptanya rantai makanan. Ceritanya, tatkala salah satu rantai makanan terjadi kelebihan populasi, hal ini bisa mempengaruhi rantai makanan yang lain. Bahkan bisa merusak keseimbangan ekosistem. Dan hal ini tentu saja perlu diantisipasi dengan bijak.
Salah satu contoh, yang terkadang kita sadari atau tidak, keberadaan babi hutan, monyet, tupai, ular, tikus dan binatang lain sebagainya yang kita labeli hama menjadi masalah dan dianggap musuh bersama, meski pada dasarnya mereka memiliki peranan tersendiri bagi ekosistem—selama populasinya wajar dan proporsional. Namun, jika daya penyebaran dan perkembangbiakannya melebihi kapasitas, ini niscaya akan jadi masalah tersendiri bagi keseimbangan ekosistem.
Kelebihan populasi kerap terjadi pada babi hutan dan monyet. Keberadaannya meresahkan para petani karena mengganggu dan mengancam gagal panen tanaman warga. Itu antara lain latar belakang terbentuknya komunitas berburu babi hutan yang diketuai Aep Saepulloh, jauh sebelum tahun 2000. Tujuan perburuan ini bukan memusnahkan melainkan hanya sebatas mengurangi kelebihan populasi sehingga mengganggu pertanian warga Desa Cisarua, Jawa Barat.
Anggota komunitas ini jumlahnya lumayan banyak dan terdiri dari berbagai usia. Setiap hari Minggu (jadwal berburu) banyak pemburu yang berasal dari desa sekitar datang bergabung, termasuk Ciamis, Pangandaran dan Tasikmalaya.
Hama lain selain babi yang kerap diburu adalah tikus. Di Karanganyar, Solo, puluhan pemburu dengan senapan angin yang tergabung dalam Sapu Jagat Hunting Club (SJHC). Perburuan hewan hama ini untuk membantu petani dan warga memerangi hama seperti hewan tupai dan tikus, yang menyerang buah-buahan dan tanaman padi warga Desa Kwangsan, Kecamatan Jumapolo Karanganyar.
“Kami hanya berburu hewan hama seperti tupai (bajing), tikus, babi hutan (celeng), dan hewan lainnya yang merusak tanaman para petani, ujar Ketua SJHC, Wahyu Sukasno. SJHC berdiri tahun 2017, memiliki 27 anggota di Solo Raya. Mereka siap 24 jam menerima panggilan warga masyarakat yang membutuhkan sniper. Mereka bergerak bersama dan melakukan penyisiran. Begitu melihat target yang muncul, mereka langsung menembaknya.
Selain membasmi hama, mereka punya sisi sosial denhan menebarkan ‘virus kebaikan’. Kegiatan rutin SJHC juga rutin mengadakan bakti sosial bagi masyarakat setiap tiga bulan sekali. Seperti berbagi sembako, bagi warga kurang mampu, melakukan bersih-bersih dan pengecatan di rumah ibadah, bedah rumah ringan bagi duafa dan berbagai aksi sosial.
Di Jombang, puluhan penembak yang terkumpul dalam Komunitas Bediler. Khususnya warga di Desa Bareng, Kec Bareng, Kab Jombang, Jawa Timur. Mereka berburu dengan senjata senapan angin biasa. Setiba waktu yang ditentukan, mereka bergerak bersama-sama dan menyisir sawah petani. Begitu melihat ada tikus yang muncul, mereka langsung menembaknya. Kegiatan berburu hama tikus ini rutin dilakukan seminggu sekali dengan tempat yang berpindah-pindah sesuai dengan permintaan petani. “Dalam semalam, biasanya sekitar 300-an tikus berhasil ditembak mati,” katanya.
Komunitas dengan kegiatan sejenis juga tak asing sebagai tradisi masyarakat di wilayah Indonesia timur. Di Sulawesi Selatan, kegiatan serupa juga sangat dikenal masyarakat. Kepedulian terhadap komunitas rumangngan (=berburu) atau pemburu hama babi ditunjukkan putra sulung Bupati Enrekang, Mitra Fachruddin. Ia menghadiahi ponsel secara cuma-cuma kepada mereka yang mengkoordinatori komunitas pemburu tiap kecamatan. Hadiah ponsel juga diberikan kepada anggota komunitas pemilik anjing pemburu terbanyak, dalam setiap kali kegiatan.
Kegiatan basmi hama ini jadi makin merah karena sejumlah komunitas berburu dari kabupaten tetangga Enrekang ikut bergabung, yakni Tana Toraja, Sidrap, dan Pinrang. Seperti juga di berbagai daerah di Tanah Air, kegiatan rumangngan di Bumi Massenrempulu merupakan tradisi turun menurun. Masyarakat secara rutin melaksanakannya setiap bulan, dengan menggilir ke-12 kecamatan, yang ada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.●(Nay)