Tajuk  

Beras Elektoral

irsyad muchtar

SEJARAWAN MC Ricklefs dalam masterpiece-nya A History of Modern Indonesia (2002) menyebut bahwa Jawa adalah salah satu pulau paling kaya sumber daya alam di dunia dengan kondisi tanah paling baik untuk menanam padi. Jawa, menurut Ricklefs, telah menjadi penghasil beras terbesar di Asia Tenggara selama berabad-abad hingga abad ke-19.

Historiografi tradisional juga mencatat makanan pokok masyarakat Nusantara. Hikayat Banjar misalnya menyebut: Hanja iang patut ditanam didjadikan sungguh-sungguh itu: padi, djagung, ubi, gumbili, kaladi, pisang… supaia makmur nagri saraba murah. “Hikayat Banjar mendeskripsikan bahwa padi, jagung, ubi, dan pisang merupakan makanan pokok yang benar-benar ditanam oleh masyarakat Nusantara.

Selain Kerajaan Banten, negeri utama penghasil beras adalah Kerajaan Demak dan kemudian Kerajaan Mataram Islam. Reid (2014) mencatat bahwa wilayah Jawa Tengah mampu mengekspor beras hingga 60 jung (sekitar 15.000 ton) ke Malaka awal abad ke-16. Jepara sendiri dapat memasok beras untuk wilayah kota-kota pelabuhan besar seperti Sunda Kelapa, Bajarmasin, Maluku, bahkan Banten.

Keberhasilan pemerintahan menjaga stabilitas harga besar akan berdampak langsung terhadap stabilitas politik. Mencermati pentingnya beras bagi masyarakat Indonesia selama beradab-abad, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk menjaga pasokan beras agar tetap dapat terjangkau murah masyarakat sekaligus menyejahterakan petani. Rezim Orba mampu bertahta tiga dasawarsa lebih karena Soeharto paham betul konsekuensi jika rakyatnya nggak wareg.

Hari-hari ini, sejak 23 Februari 2024, harga beras di seluruh provinsi sudah melampaui HET. Jenis medium Rp11.800—Rp22.250/kg, dan beras premium Rp14.600—Rp27.810. Terlihat nyata paralelisme antara harga beras yang stabil-tinggi dan Pilpres 2024. Konektornya adalah bantuan sosial (bansos) ugal-ugalan pra-Pilpres. Politisasi (bahkan personalisasi) bansos menunggangi beras sebagai alat politik untuk mempengaruhi opini publik atau kestabilan politik.

Hubungan kausalitas itu kasat mata. Hasil survai LSI mengkonfirmasi—bahwa penerima bansos pemerintah cenderung mendukung paslon 02. Presiden cawe-cawe. Pemerintah menggelontorkan beras bansos dengan sangat masif. Jumlahnya fantastis, Rp428,7 triliun. Kecurangan pun ditengarai bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Residu politik itu sempat memantik gagasan penggunaan Hak Angket DPR dan penolakan hasil pilpres oleh sejumlah kalangan.

Bertemunya harga beras yang terus membubung dan residu politik Pipres 2024, tak bisa disepelekan. Kelangkaan kebutuhan pokok bertemu dengan instabilitas politik berpotensi melahirkan destruksi politik. Nyaris serupa dengan sikon di pengujung Orde Baru, fenomena beras mahal berjalan seiring dengan residu politik.

Kepentingan pemilu 2024 menjadi salah satu faktor krusial yang perlu dicermati. Politisasi bansos jelang pemilu terbukti mengarah pada praktik-praktik tidak etis atau melenceng dari alokasi proporsionalnya. Bansos dengan sasaran segmented menjelma (karena dirancang) sebagai “alat politik” untuk menghasilkan dukungan elektoral.●

 

Salam

Irsyad Muchtar

Exit mobile version