OMZET bisnis narkotika berbagai jenis tak kurang dari Rp250 triliun tiap tahunnya di Indonesia. “Ini luar biasa,” kata kepala BNN, Budi Waseso. Anehnya tapi nyata, produk psikotropika kok diimpor. Padahal, Indonesia (Aceh) merupakan salah satu negara penghasil ganja terbaik dunia. Karenanya, peredaran dan produksi narkotika, termasuk ganja, tetap dilawan dan diupayakan menghentikannya.
Perputaran dana Rp250 T itu tidak dirasakan petani. “Mereka tidak menikmati (hasilnya). Mereka tetap miskin,” ujar Buwas. Dikatakan, para petani ganja sebenarnya tidak berniat menanam ganja. Mereka hanya dimanfaatkan kelompok ataupun bandar narkoba. Mereka seakan diperlakukan sebagai sapi perah.
Kebiasaan bertanam para petani ganja tersebut coba diubah. Bersama Kementerian Pertanian, BNN menyediakan tanaman alternatif, yakni komoditas yang bernilai ekonomis dan bermanfaat. Perubahan pertanaman, pada tahap awal, dilakukan di Kabupaten Aceh Besar, Kab Bireuen dan Kab Gayo Lues. Soanya, di tiga wilayah ini ganja tumbuh subur.
Total lahan pertanian di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sekitar 29 ribu hektare. Diperkirakan, lebih dari 900 ha lahan yang ditanami ganja. Untuk beralih dari menanam ganja, pemerintah siapkan 10 ribu ha lahan, dilengkapi dengan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), pupuk dan benih tanaman. “Tolong berhenti tanam ganja. Apa pun tanaman akan diberikan Kementerian Pertanian gratis,” ujar Mentan Amran.
Di Aceh Besar, 864 orang dengan 760 ha lahan telah menerima program pemberdayaan dari BNN Aceh. Lahan-lahan tersebut dulunya digunakan untuk menanam ganja. Namun kini dialihfungsikan, menggantinya dengan 20 jenis tanaman alternatif. Menurut Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, langkah pemberdayaan alternatif semacam ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, mereka diberdayakan pada bidang kuliner, perbengkelan dan sebagainya.●