octa vaganza
Wisata  

Benteng Rotterdam, Pondasi 7 Abad Kerajaan Gowa-Tallo

Masalah pembangunan di sekitar Benteng, ikon Makassar, merupakan sebuah persoalan yang cukup kompleks karena terkait dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik.

KEBERADAAN Fort Rotterdam tak bisa dilepaskan dari kehadiran Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Sulawesi. Mereka datang untuk berdagang di Pelabuhan Ujung Pandang milik Kerajaan Gowa yang ramai. Saat itu Gowa tumbuh sebagai kekuatan politik dan militer yang kuat. Untuk melindungi pusat pertahanan di Somba Opu, Gowa membangun 17 benteng. Yang paling megah adalah Benteng Ujung Pandang atau Benteng Jumpandang.

Benteng Rotterdam merupakan salah satu dari 15 benteng pengawal yang dibangun oleh Kerajaan Gowa-Tallo untuk menangkal invasi Belanda. Benteng-benteng tersebut membentang dari utara hingga selatan. Berperan sebagai benteng utama adalah Benteng Somba Opu. Yang bisa disaksikan dewasa ini hanya Benteng Fort Rotterdam yang kondisinya relatif utuh. Sebab, benteng-benteng lainnya telah telanjur dihancurkan oleh imperialis Belanda.

Benteng Jumpandang adalah cikal bakal Fort Rotterdam. Pembangunannya dirintis oleh Raja Gowa VIII, Tumapa’risi’ Kallonna (1512-1548). Oleh Raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, benteng ini didirikan sebagai rangkaian benteng pertahanan di sepanjang pesisir pantai barat Kerajaan Gowa pada tahun 1545. Nama-nama di antara benteng dimaksud adalah Benteng Somba Opu, Kale Gowa, Tallo, Sanrobone, Barombong dan Ujung Tana. Pada saat itu, Benteng Somba Opu-lah yang dipilih mendi pusat kerajaan.

Konstruksi awal Benteng hanya berupa gundukan tanah. Pada tahun 1550, Raja Gowa IX, Tunipallangga Ulaweng (1547-1639), memperkuatnya dengan dinding bata. Dipugar besar-besaran pada masa Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1539-1639). Bentuk Benteng pun diubah dengan mengadopsi bentuk benteng pertahanan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Perkuatan dindingnya diselesaikan 9 Agustus 1639.

Benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar. Dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa ke-10. Semula bentuknya segi empat seperti ciri khas benteng Portugis. Terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar. Memiliki enam bastion (pos penjagaan) dan dikelilingi dinding setinggi tujuh meter dan parit sedalam dua meter.

Kompleks Benteng Rotterdam merupakan lokasi berdirinya sejumlah bangunan bergaya kolonial. Di dalam benteng terdapat 13 bagunan yang 11 di antaranya adalah bangunan asli dari abad ke-17, sedangkan dua lainnya didirikan pada masa pendudukan Jepang. Masyarakat Makassar menyebutnya “Benteng Pannyua” yang artinya benteng yang menyerupai kura-kura yang sedang menghadap ke laut.

Kendati dibangun berabad-abad lalu, benteng ini masih kokoh. Bukan hanya tampak dari luar. Jika masuk ke dalamnya, anda akan terpesona dibuatnya. Begitu melewati gerbang utama, anda akan melihat bangunan-bangunan tua yang kondisinya masih terjaga dan terawat dengan baik. Bentuk Benteng Fort Rotterdam menyerupai seekor penyu merupakan filosofi Kerajaan Gowa-Tallo, yang berjaya di daratan maupun lautan.

Lokasi benteng mudah dijangkau. Jaraknya sekitar dua kilometer dari Pantai Losari. Dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin bisa ditempuh sekitar 30 menit berkendara. Luas total benteng ini 2,5 hektare dengan 16 buah bangunan dengan luas 11.605,85 m². Ada lima bastion atau selekoh (pos penjagaan) yang artinya sudut atau penjuru yang dibangun menjorok keluar pada dinding benteng dan dipersenjatai dengan artileri. Kelima bastion tersebut yaitu Bastion Bone, Bastion Bacan, Bastion Buton, Bastion Mandarasyah dan Bastion Amboina.

Terdapat 16 bangunan dengan arsitektur bergaya Eropa yang berderet mengelilingi dinding bagian dalam benteng. Semua bangunan menggunakan atap berbentuk pelana dengan kemiringan yang tajam dan memiliki banyak pintu dan jendela. Sebuah taman hijau nan asri berada di tengah-tengah benteng. Rumput-rumputnya tertata dan rapi. Halamannya bersih. Benar-benar tempat yang layak dikunjungi.

Secara keseluruhan terdapat 14 benteng yang telah dibangun hingga masa pemerintahan Sultan Alauddin Raja Gowa XIV. Keempat benteng baru tersebut dibangun sebagai langkah antisipatif pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo atas meningkatnya skala ketegangan dengan VOC yang bermaksud menguasai perdagangan Makassar dan tidak menginginkan pedagang negara lain berada di Makassar.

Tiba-tiba, pada tanggal 21 Desember 1666 Cornelis Janszoon Speelman menyatakan perang terhadap Kerajaan Gowa-Tallo. Perang tersebut berakhir dengan Perjanjian Bungaya, 18 November 1667. Salah satu butir perjanjiannya: menghancurkan seluruh benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo kecuali Benteng Jumpandang dan menyerahkan benteng tersebut berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC.

Perjanjian Bongaya 18 November 1667 itu ditandatangani Sultan Hasanuddin. Oleh Speelman, nama Benteng Jumpandang diganti menjadi Fort Rotterdamn. Speelman lalu membangun kembali benteng dengan gaya arsitektur Belanda. Sejak saat itu, Fort Rotterdam menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Celebes. Fort Rotterdam menjadi satu-satunya benteng yang dibangun di Makassar pada abad 17-18 dan menjadi simbol hegemoni VOC di wilayah Sulsel.

Inggris pada tahun 1811-1816 pernah menguasai benteng ini bersamaan dengan kemenangannya dalam menaklukkan Ambon dan Banda. Setelah 5 tahun menduduki benteng itu, pada bulan September 1816, Inggris menyerahkan kembali Benteng Rotterdam ke Pemerintah Hindia Belanda.

Sekitar 200 tahun Belanda menggunakan benteng ini sebagai pusat pemerintahan, ekonomi dan berbagai macam aktivitas. Pada 1937, kepemilikan Benteng Rotterdam oleh Dutch Indies Goverment diserahkan kepada Fort Rotterdam Foundation. Benteng ini kemudian terdaftar sebagai bangunan bersejarah pada 23 Mei 1940. Sepanjang sejarahnya, Fort Rotterdam memiliki beragam fungsi sesuai dengan keadaan zaman. Pada 1970-an, benteng ini dipugar secara ekstensif dan sekarang menjadi pusat budaya, pendidikan, tempat untuk acara musik dan tari, serta tujuan wisata bersejarah.

Imbas dari pembangunan kota, di sekitar benteng berdiri bangunan-bangunan bertingkat berupa ruko dan hotel dengan mengambil latar pantai. Di satu sisi mengganggu pemandangan benteng tapi di sisi lain memberi kemudahan bagi anda yang mengunjungi benteng ini.

Gencarnya pembangunan di wilayah Kota Makassar, imbasnya juga terlihat di sekitar Benteng Rotterdam. Masalah pembangunan di sekitar Benteng merupakan sebuah persoalan yang cukup kompleks karena terkait dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Dalam prakteknya, seringkali pembangunan yang begitu gencar justru menghancurkan tatanan budaya materi yang telah ada dan menjadi ikon, jati diri atau ruh yang cenderung destruktif.

Benteng ini menjadi saksi bisu saat Pangeran Diponegoro diasingkan oleh puak kolonial. Sebelum ditawan di Benteng Rotterdam, Pangeran Diponegoro terlebih dulu diasingkan di Manado. Pahlawan nasional Asal Jawa itu ditawan pada 1833 hingga wafat 8 Januari 1855.  Di tempat ini dia mengisi hari-harinya dengan menyusun catatan tentang budaya Jawa, dari wayang, mitos, sejarah, hingga ilmu pengetahuan.●(Zian)

Exit mobile version