octa vaganza
Fokus  

Benahi KSP Abal-abal Jangan banyak Wacana

Banyak saran bercampur harap yang mengemuka dalam Sarasehan Koperasi V Forum Komunikasi Koperasi Besar Indonesia (Forkom KBI) 14 Juli lalu di Sanur, Bali. Di antaranya, Pemerintah diminta lugas, tegas dan keras menindak Koperasi Simpan Pinjam  berpraktik ilegal. RUU Koperasi yang masih mangkrak diharapkan segera selesai.

Perbincangan tak kunjung usai menyoal perlunya kehadiran Otoritas Jasa Keuangan dalam pembenahan Koperasi Simpan Pinjam (KSP)  bermuara pada lemahnya payung hukum di bidang perkoperasian.  UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai out of date, jadoel dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan pasar digital yang kini menjadi keniscayaan.  Jawaban cerdasnya, adalah segera keluarkan UU baru, yang lebih mampu mengafirmasi kehidupan masyarakat dalam berkoperasi.  Masalahnya, kapan ? Bukankah UU pengganti yang pernah disorong pemerintah, yaitu UU No 17 Tahun 2012 oleh Mahkamah Konstitusi  dinyatakan cacat esensi sehingga harus ditarik dari peredaran.  Seusai itu, Pemerintah bersama DPR-RI menyiapkan rancangan UU baru, yang pernah disosialisasikan  saat menjelang Pilpres 2018 lalu. Dan lagi-lagi, kabarnya kabur.

Kini Kemenkop UKM Kembali menyiapkan draft baru UU koperasi dengan melibatkan sejumlah pegiat perkoperasian dalam satu wadah Kelompok Kerja (Pokja), hasilnya memang sedang ditunggu. Namun bukan berarti kiprah koperasi terutama KSP juga harus menunggu. Sebagai entitas ekonomi berbasis partisipasi, mesin ekonomi KPS tentu saja harus terus bekerja jika tak ingin kolaps. Di tengah payung hukum yang lemah, KSP dengan basis anggota riil (genuine) terpaksa harus tetap memasuki pasar, bersanding dan sekaligus bersaing dengan KSP abal-abal, milik pemodal berkantong tebal.

Persoalan seperti itu  mengemuka dalam Sarasehan Koperasi V yang digagas Forkom KBI bersama Majalah Peluang Juli lalu di Sanur Bali. Sebanyak 65 peserta yang menghadiri acara tampak serius menyimak prasaran yang disajikan dua pembicara utama, Notaris Dewi Tenty Septy Artiany dan pengamat koperasi Suroto. 

Menurut Dewi Tenty yang akrab dipanggil Dete, UU No 25 Tahun 1992 menjadi pokok masalah lemahnya pengawasan koperasi. Celakanya, kelemahan pengawasan koperasi justru disokong dengan adanya oknum pejabat di KemenkopUKM, bahkan ada yang ikut mendirikan KSP abal-abal.

“Saya dengar pengawasan KSP bakal diserahkan ke OJK, saya kira hal itu baru sebatas wacana. Belum tentu OJK mau menerima tawaran itu mengingat pekerjaannya yang ada saja belum terselesaikan dengan baik,” ujar Dete.

Senada dengan Dete, pengamat koperasi Suroto menegaskan kerusakan koperasi selama ini  tidak saja regulasi yang lemah, tapi juga banyaknya campur tangan pemerintah. Koperasi, tegasnya,

 Adalah self regulatory organization, patuh pada aturan yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu masuk terlalu jauh kalau tak mau dibilang intervensi.

Cuma sayangnya, lanjut Suroto, kapasitas manajerial dan akademik orang koperasi kebanyakan masih sangat lemah, sehingga manut saja jika diintervensi kebijakan dari luar. Ia sangat mendukung adanya afirmasi terhadap esensi berkoperasi seperti yang digagas Forkom KBI, sehingga gengsi koperasi setara dengan bisnis skala konglomerasi. Menyoal praktik KSP yang banyak mengandung kelemahan regulasi, Suroto setuju jika KSP diawasi agar tak mudah disusupi anasir lain yang merusak. Hanya saja, pengawasnya harus mereka yang mengerti koperasi. Jika pengawasan diserahkan kepada otoritas lainnya, lalu apa kerja KemenkopUKM.

Pangkas KSP Abal-Abal

Dalam sesi tanya jawab yang cukup hangat, peserta yang hadir di Sarasehan V tersebut sepakat dengan masalah disampaikan kedua panelis, dan meminta   KemenkopUKM agar tegas menggusur KSP abal-abal.

“Jika dibiarkan terus dampaknya merusak koperasi lain yang sudah menjalankan prinsip koperasi secara konsisten, “kata Ketua KSP CU Pancur Kasih Pontianak Kalimantan Barat, Martono.

Dukungan senada dilontarkan General Manager KSP Kopdit Obor Mas, Maumere, NTT, Frediyanto yang mendesak segera berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (LPS-KSP).

“Dalam UU Koperasi yang baru nanti, harus ada pasal tentang LPSK ini, agar koperasi bisa dipercaya seperti halnya lembaga keuangan perbankan,”tutur Frediyanto.

Menyoal pengawasan KSP yang konon akan diserahkan ke OJK, peserta berharap hal itu tidak boleh terjadi. Alasannya, kata Ketua Umum KSP Nasari Frans Meroga mewakili peserta, pertama karena koperasi mengatur dirinya sendiri, dari, oleh dan untuk anggota.

Kedua, pekerjaan OJK membenahi LKM juga sudah menumpuk dan Ketiga, marwah koperasi yang dimiliki anggotanya tidak sama dengan lembaga keuangan lain, yang menempatkan pengguna jasa sebagai nasabah. Karenanya, harap Frans, biarkan KSP mengatur dirinya sendiri, pemerintah dalam hal ini cukup menetapkan regulasinya dan serahkan ke ranah hukum jika ada KSP yang off-side atau melanggar aturan main. Harapan mengemuka dalam Sarasehan tersebut adalah kepedulian pemerintah untuk Kembali mengenalkan perkoperasian melalui pendidikan sekolah. Tidak hanya oleh Forkom KBI, tetapi tegas Suroto, gerakan koperasi di seluruh tanah air mustinya juga turut mendesak kepada pemerintah agar pelajaran tentang koperasi dan juga demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi diajarkan di sekolah dan kampus. Sebab koperasi dan demokrasi ekonomi itu adalah produk peradaban yang bertujuan ciptakan keadilan sosial seperti yang dikehendaki UUD 1945 dan Pancasila. (Irm)

Exit mobile version