Sengaja kita mengambil tiga negara ini karena lebih dekat dengan negara kita. Korea Selatan, Jepang dan Thailand. Mengintip Asta Cita Presiden terpilih, terutama di asta cita keenam memberikan harapan kepada Koperasi untuk Kembali bangkit dari tidur lamanya, hampir seperempat abad sejak reformasi 1998 terjadi di negeri ini.
Koperasi diharapkan bangkit dari desa, walaupun kita sudah sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang melaju menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi lokalnya lewat pengembangan koperasi desa mereka menjadi inspirasi buat kita kembali sadar untuk segera berbenah dan membangun kekuatan baru koperasi kita.
Pengalaman Jepang dalam menggerakkan perekonomian dari desa melalui koperasi merupakan contoh yang menarik dan inspiratif. Setelah Perang Dunia II, Jepang menghadapi krisis pangan yang parah dan inflasi yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Jepang mendirikan koperasi pertanian (Japan Agricultural Cooperatives atau JA) pada tahun 1947. Koperasi ini didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan memperbaiki posisi sosial dan ekonomi para petani. Pada tahun 1954, JA-Zenchu didirikan sebagai badan administratif nasional yang mengawasi koperasi pertanian di seluruh Jepang.
Koperasi pertanian di Jepang memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Koperasi ini menyediakan berbagai layanan kepada anggotanya, termasuk pemasaran produk pertanian, paket kredit, dan asuransi mutual. Dengan adanya koperasi, petani dapat menjual produk mereka dengan harga yang lebih baik dan mendapatkan akses ke input pertanian dengan harga yang lebih murah melalui pembelian bersama.
Pada tahun 1961, Jepang mengimplementasikan Undang-Undang Dasar Pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan memperbesar ukuran lahan pertanian, memperbaiki lahan, dan mengadopsi teknologi pertanian modern. Reformasi ini berhasil meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi kesenjangan pendapatan antara sektor pertanian dan sektor lainnya.
Seiring dengan perkembangan ekonomi Jepang, koperasi pertanian juga mulai mendiversifikasi layanan mereka. Selain fokus pada pertanian, koperasi ini juga menyediakan layanan asuransi, kesehatan, dan kesejahteraan bagi anggotanya. Misalnya, JA-Kouseiren menyediakan layanan kesehatan dan dukungan bagi lansia, yang sangat penting mengingat populasi Jepang yang menual.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi koperasi pertanian di Jepang adalah penurunan populasi petani.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa koperasi seperti JA Minamishinnsyuu di Prefektur Nagano memberikan dukungan teknis dan subsidi bulanan kepada petani baru, yang berhasil meningkatkan jumlah petani baru di daerah tersebut.
Koperasi pertanian di Jepang juga menghadapi tantangan dari globalisasi. Untuk tetap kompetitif, beberapa koperasi mulai mempromosikan ekspor produk khusus ke pasar internasional. Misalnya, JA Ise di Prefektur Mie mengekspor jeruk berkualitas tinggi ke Thailand. Langkah ini membantu koperasi untuk menemukan pasar baru dan meningkatkan pendapatan petani.
Pengalaman Jepang dalam menggerakkan perekonomian desa melalui koperasi menunjukkan bagaimana kebijakan yang tepat dan dukungan yang kuat dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Koperasi pertanian di Jepang tidak hanya berhasil mengatasi krisis pangan pasca-perang, tetapi juga beradaptasi dengan perubahan ekonomi global dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dengan diversifikasi layanan dan inovasi dalam pemasaran, koperasi pertanian di Jepang terus memainkan peran penting dalam perekonomian desa dan nasional.
Pengalaman Negara Korea Selatan
Pengalaman Korea Selatan dalam menggerakkan perekonomian dari desa melalui koperasi adalah contoh yang menarik tentang bagaimana kebijakan pemerintah dan inisiatif masyarakat dapat bekerja sama untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Koperasi di Korea Selatan memiliki sejarah panjang yang dimulai pada awal abad ke-20.
Koperasi pertama didirikan pada tahun 1907 oleh para petani untuk menyediakan bantuan keuangan. Setelah Korea merdeka pada tahun 1945, banyak komunitas pedesaan yang hancur akibat perang dan kekurangan pangan. Untuk membantu pemulihan ini, pemerintah Korea Selatan mengesahkan Undang-Undang Koperasi Pertanian pada tahun 1957, yang mendorong pembentukan koperasi di tingkat desa.
Pada 1961, koperasi pertanian digabungkan dengan Bank Pertanian untuk menciptakan sistem koperasi multi-tujuan yang memenuhi berbagai kebutuhan petani dan negara. Sistem ini kemudian menghasilkan pembentukan Federasi Koperasi Pertanian Nasional (NACF) sebagai organisasi payung untuk semua koperasi pertanian.
Koperasi pertanian di Korea Selatan memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Koperasi ini menyediakan berbagai layanan kepada anggotanya, termasuk pemasaran produk pertanian, paket kredit, dan asuransi mutual. Dengan adanya koperasi, petani dapat menjual produk mereka dengan harga yang lebih baik dan mendapatkan akses ke input pertanian dengan harga yang lebih murah melalui pembelian bersama.
Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru)
Pada tahun 1970, pemerintah Korea Selatan meluncurkan Saemaul Undong atau Gerakan Desa Baru, yang bertujuan untuk memodernisasi desa-desa dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan. Gerakan ini mendorong pembentukan koperasi konsumen untuk menyediakan barang-barang kebutuhan di desa-desa. Saemaul Undong berhasil meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kesenjangan antara desa dan kota melalui pembangunan infrastruktur dan peningkatan produktivitas pertanian.
Seiring dengan perkembangan ekonomi Korea Selatan, koperasi pertanian juga mulai mendiversifikasi layanan mereka. Selain fokus pada pertanian, koperasi ini juga menyediakan layanan asuransi, kesehatan, dan kesejahteraan bagi anggotanya. Misalnya, koperasi di Korea Selatan telah mengembangkan koperasi sosial yang fokus pada misi peningkatan sosial, seperti menyediakan pekerjaan bagi populasi yang terpinggirkan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi koperasi pertanian di Korea Selatan adalah penurunan populasi petani. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa koperasi memberikan dukungan teknis dan subsidi bulanan kepada petani baru, yang berhasil meningkatkan jumlah petani baru di daerah tersebut.
Koperasi pertanian di Korea Selatan juga menghadapi tantangan dari globalisasi. Untuk tetap kompetitif, beberapa koperasi mulai mempromosikan ekspor produk khusus ke pasar internasional. Langkah ini membantu koperasi untuk menemukan pasar baru dan meningkatkan pendapatan petani.
Pengalaman Korea Selatan dalam menggerakkan perekonomian desa melalui koperasi menunjukkan bagaimana kebijakan yang tepat dan dukungan yang kuat dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Koperasi pertanian di Korea Selatan tidak hanya berhasil mengatasi krisis pangan pasca-perang, tetapi juga beradaptasi dengan perubahan ekonomi global dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dengan diversifikasi layanan dan inovasi dalam pemasaran, koperasi pertanian di Korea Selatan terus memainkan peran penting dalam perekonomian desa dan nasional.
Pengalaman Negara Thailand
Koperasi pertama di Thailand didirikan pada tahun 1916 atas inisiatif pemerintah untuk membantu petani yang sangat terlilit utang. Koperasi ini bernama “Wat Chan Cooperative Unlimited Liability” dan mengikuti model koperasi kredit Raiffeisen dengan tujuan tunggal menyediakan kredit pertanian.
Keberhasilan koperasi ini dalam mencegah banyak petani kehilangan lahan mereka mendorong peningkatan jumlah koperasi kredit pedesaan di seluruh negeri. Koperasi kredit pedesaan mendominasi hingga tahun 1983, setelah itu jenis koperasi lain mulai didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada tahun 1968, Undang-Undang Koperasi memungkinkan penggabungan koperasi-koperasi kecil menjadi koperasi skala besar di tingkat kecamatan yang menjalankan fungsi serba guna. Koperasi ini secara resmi dikategorikan sebagai koperasi pertanian. Saat ini, ada tujuh jenis koperasi di Thailand – pertanian, permukiman lahan, perikanan, konsumen, simpan pinjam, jasa, dan kredit union.
Koperasi pertanian memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Koperasi menyediakan berbagai layanan kepada anggota seperti pemasaran produk pertanian, paket kredit, asuransi, penyediaan input pertanian, dan barang konsumsi dengan harga terjangkau melalui pembelian bersama.
Pada tahun 1970, pemerintah meluncurkan Gerakan Desa Baru (Saemaul Undong) yang mendorong pembentukan koperasi konsumen untuk menyediakan barang kebutuhan di desa-desa. Gerakan ini berhasil meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kesenjangan antara desa dan kota.
Koperasi juga mendiversifikasi layanannya seperti asuransi, kesehatan, dan kesejahteraan bagi anggota. Misalnya, koperasi menyediakan layanan kesehatan dan dukungan bagi lansia yang sangat penting mengingat populasi Thailand yang menua. Salah satu tantangan utama yang dihadapi koperasi pertanian adalah penurunan populasi petani. Untuk mengatasinya, beberapa koperasi memberikan dukungan teknis dan subsidi bulanan kepada petani baru.
Dengan demikian, maka pengalaman Jepang, Korea Selatan, dan Thailand menunjukkan bahwa keberhasilan koperasi dalam membangun ekonomi desa sangat bergantung pada dukungan kebijakan pemerintah, diversifikasi layanan, inovasi teknologi, dan pemberdayaan anggota. Koperasi yang kuat dan berkelanjutan dapat menjadi pilar penting dalam pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Akankah kita mampu mengejar mereka atau minimal dapat belajar dari mereka untuk “berubah”?
*Oleh: Ahmad Subagyo, Wakil Rektor Bidang Riset, Advokasi dan Promosi IKOPIN University, Anggota Perkumpulan Guru Besar Indonesia (Pergubi), Ketua Umum IMFEA dan Pelopor terbentuknya Asosiasi Dosen Ekonomi koperasi dan Microfinance Indonesia*