octa vaganza

Belajar Jadi Orangtua dari “Dua Garis Biru”

JAKARTA—-“Melahirkan anak itu sekali, menjadi orangtua adalah pekerjaan seumur hidup!” cetus Rika (Lulu Tobing) kepada anaknya Dara (Zara JKT 48) ketika mengetahui anaknya yang duduk di bangku terakhir SMA hamil, sekaligus juga mendamprat Bima (Angga Yunanda) yang menyebabkan kehamilan anaknya.

Keduanya adalah teman sebangku, remaja baik-baik dan seperti lazimnya remaja zaman sekarang akrab dengan gadget. Dara digambarkan lebih pintar dari Bima, tetapi  dia terpikat karena Bima sosk lucu dan baik.

Dara digambarkan gandrung pada  Korean Pop, hingga kamar dindingnya penuh dengan idolanya boy band hingga aktor Korea yang disebut “para suaminya”. Dia bercita-cita ingin kuliah di negeri ginseng itu, karena keinginintahuan yang besar.   

Suatu ketika dia mendadani Bima seperti “para suaminya” yang gambar fotonya di dinding dan mereka berbuat khilaf.  Mulanya keduanya berupaya menyembunyikan aib mereka sampai kelulusannya yang tinggal enam bulan lagi, tetapi terbongkar juga.

Rika dan suaminya David (Dwi Sasono),  orangtua Bima, Rudy (Arsewendy Bening Swara) dan Yuni (Cut Mini)  sama kalang kabutnya.  Dua Garis Biru yang disutradarai Gina S Noer sekaligus penulis skenarionya bertutur tanpa menghakimi dan mengungkapkan soal pola nilai dan ekspresi kasih sayang, hingga soal sex education dengan cara yang cerdas dan tidak menggurui.  Misalnya saja lewat penuturan ginekolog dengan santai, ramah tidak menyalahkan menerangkan akibat bagi perempuan di bawah umur bila hamil dan melahirkan.

Misalnya dialog antara Yuni dan Bima dalam sebuah adegan, “Kalau Bima masuk neraka, ibu jangan ikut saya,” katanya.  Itu artinya Bima mengakui perbuatannya dosa dan dia tetap salat.  Namun Yuni berkata: “Padahal ibu selalu tutup mata kamu, ketika menonton film yang ada adegan ciumannya.”

Bima menimpali: “Memang Ibu dan Bapak bisa ciuman karena menonton film yang ada adegan ciumannya?”  Yuni pun terhenyak, namun tidak marah. “Harusnya kita sering mengobrol seperti ini, pasti tidak ada kejadian.” Kritik terhadap komunikasi orangtua dan anak yang kerab diabaikan.

Tema kehamilan di luar nikah, bukan hal yang baru dalam film Indonesia. Pada 1980-an ada film “Yang di Bawah Umur” yang dibintangi oleh Gusti Randa dan Gladys Suwandhi dan “Biarkan Kami Bercinta” dibintangi Dina Mariana dan Gusti Randa. Bahkan ada sinetron “Pernikahan Dini” yang melambungkan nama Agnes Monica.   

Film-film ini juga tidak hitam putih menghajar para remaja dan ada latar belakangnya, juga menyalahkan pihak orangtua memberikan andil.  Bahkan dalam Biarkan Kami Bercinta yang diangkat dari novel Mira W, “Dari Jendela SMP”, begitu kelam menggambarkan tokoh yang laki-laki dari keluarga broken home.

Hanya saja “Dua Garis Biru” lebih maju dan membumi mengingatkan bahwa keluarga harmonis pun bisa menghadapi persoalan serupa bila abai berkomunikasi dengan anaknya. Baik keluarga dari kalangan orang berada seperti keluarga Dara, maupun dari orang kebanaykan yang tinggal di gang seperti keluarga Bima sama-sama lengah memperhatikan anaknya,

Gina S Noer memberikan ending yang tidak terduga dan sekaligus memberikan pesan yang mendalam kepada penonton: adil dan tidak menghakimi siapa-siapa, sekalipun memberikan rasa haru atau istilah anak milenial sekarang baper (terbawa perasaan).  

Akting Angga Yunanda dan Zara JKT 48 begitu kuat membuat film ini menjadi hidup.  Sepasang remaja yang naif, tetapi sebetulnya juga kritis.   Bagi saya Dua Garis Biru adalah film terbaik yang diproduksi Star Vision pada 2019 ini (Irvan Sjafari).

Exit mobile version