octa vaganza

Belajar Berkoperasi dari Negeri Jiran

Oleh Djabaruddin Djohan

BERBEDA dengan perkembangan koperasi di kebanyakan negara-negara sedang berkembang yang kurang berhasil, dalam arti sebagai lembaga ekonomi sosial yang mandiri, perkembangan koperasi di negara-negara bekas jajahan Inggris menunjukkan tingkat keberhasilan yang jauh  lebih baik. Dengan menggunakan pola yang disebut “Classical British-Indian Patern”, (karena pola ini pada awalnya diterapkan di India semasa penjajahan oleh Inggris), Pemerintah dengan sadar mengambil prakarsa, khususnya dalam persiapan pendirian koperasi, meliputi: pendidikan/pelatihan, konsultasi, informasi hingga fasilitas yang diperlukan. Dan selanjutnya mengawal hingga koperasi benar-benar sudah dapat berfungsi. Begitu koperasi sudah dapat berfungsi, maka Pemerintah segera menarik diri. Pola ini tetap dilanjutkan setelah negara- negara dimana koperasi-koperasi dengan model pembinaan tersebut mencapai kemerdekaannya.

Buah dari pembinaan koperasi dengan pola “Classical British-Indian Patern” ini tampak nyata dengan kinerja koperasi-koperasi di bekas jajahan Inggris seperti: Singapura dan Malaysia dan India yang masing-masing negara ini memiliki koperasi-koperasi yang termasuk dalam 300 Koperasi tingkat global (Global 300 List) sejak tahun 2011 hingga data terkini tahun 2016 menurut versi ICA (International Cooperative Alliance). Data per 2016, Singapura memiliki NTUC Fair Price (retail) dan NTUC Income (Koperasi Asuransi) yang menduduki peringkat 150 dan 152 dengan pendapatan USD 2,49 miliar dan USD 2,45 miliar/ Malaysia punya Bank Kerjasama Rakyat yang menduduki peringkat 213 dengan pendapatan USD 1,61 miliar dan India punya IFFCO (Indian Farmers Fertiliser Cooperative) yang menduduki peringkat 108 dengan pendapatan USD 4,22 miliar.

Keberhasilan pengembangan koperasi di negara-negara tersebut, juga dibarengi dengan penguatan organisasi gerakan koperasinya, yang sepenuhnya didukung oleh koperasi-koperasi anggotanya. Berfungsinya organisasi gerakan koperasi tersebut, diwujudkan baik dalam menjaga/mengawal koperasi-koperasi anggotanya agar tetap berada dalam koridor nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya maupun sebagai wakil gerakan koperasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Fungsi-fungsi ini telah dapat dilaksanakan dengan baik oleh SNCF (Singapore National Cooperative Federation) organisasi gerakan koperasi Singapura, ANGKASA (National Coop Organization of Malaysia) organisasi gerakan koperasi Malaysia dan NCUI (National Cooperative Union of India) organisasi gerakan koperasi India. Meskipun menurut pola “Classical British-Indian Patern” Pemerintah menarik diri dari pengelolaan organisasi koperasi begitu koperasinya sudah berfungsi dengan baik, namun hubungan antara gerakan koperasi dengan Pemerintah di negara-negara ini tetap terjalin dengan baik. Misalnya antara gerakan koperasi Malaysia dan Pemerintah Malaysia memiliki strategi bersama dalam pembangunan koperasi dalam bentuk; “National Policy and Plan of Action…”, yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh ANGKASA dan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Malaysia.

BELAJAR DARI NEGERI JIRAN.

Tidak berbeda dengan pengembangan koperasi di negara-negara sedang berkembang, pengembangan koperasi di Indonesia juga diprakarsai oleh Pemerintah, baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa kemerdekaan. Untuk pertama kali, perkumpulan koperasi diperkenalkan di Indonesia pada akhir abad ke 19 oleh seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda de Wolff van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto. Koperasi yang diperkenalkannya adalah koperasi kredit pertanian model Raiffeisen, tetapi usaha yang berdasarkan prinsip gotong royong ini tidak bisa berkembang seperti diharapkan.

Pada awal kemerdekaan Wakil Presiden, Bung Hatta turun tangan langsung membimbing masyarakat untuk dapat berkoperasi dengan benar, sebagai realisasi dari pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Tetapi upaya untuk menumbuhkan koperasi dari bawah ini “dibabat” oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 (dari UUDS), yang kemudian menjadikan koperasi sebagai “alat revolusi”. Lepas dari cengkeraman Orde Lama, masuk ke Orde Baru (1966) koperasi dijadikan sebagai “alat kebijakan Pemerintah” dengan melimpahkan berbagai fasilitas kepada koperasi terutama kepada Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari program Pemerintah dalam pengadaan pangan. Tetapi ketika tiada lagi fasilitas dikucurkan, KUD (dan juga koperasi jenis lain yang mendapat fasilitas Pemerintah) rontok satu demi satu. 

Memasuki era Reformasi (1998) sindrom ketergantungan koperasi kepada Pemerintah tidak kunjung berkurang.  Keteregantungannya pada Pemerintah, menjadikan gerakan koperasi tidak dapat melepaskan diri dari irama orientasi politik Pemerintah yang berkuasa. Dalam kondisi perkoperasian seperti itu, peranan organisasi gerakan koperasi, yaitu DEKOPIN (Dewan Koperasi Indonesia) sangat diharapkan dalam upaya melaksanakan fungsi  utamanya, yaitu sebagai penjaga/pengawal nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi serta sebagai mitra Pemerintah dalam pembangunan koperasi. Tetapi organisasi gerakan koperasi yang dibentuk pada 12 Juli 1947 dengan nama SOKRI (Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia) ini mempunyai masalahnya sendiri yang tidak kurang peliknya. Sejak era reformasi pucuk pimpinan organisasi gerakan koperasi menjadi “rebutan”, selain oleh tokoh-tokoh gerakan koperasi sendiri juga oleh politisi-politisi yang “berbaju koperasi”.  Sebagai organisasi tunggal gerakan koperasi, yang beranggotakan lebih dari 150.000 koperasi (meskipun hampir sebagian tidak aktif) dengan anggota perorangannya konon lebih dari 37 juta orang serta mendapatalokasi dana APBN yang jumlahnya puluhan miliar (yang dalam kenyataannya justru menjadi “racun” yang menggerus upaya koperasi untuk mandiri, selain rawan untuk dimanipulasi), bisadimengerti jika organisasi gerakan koperasi ini menjadi inceran banyak pihak.

Dengan kondisi dan potensi seperti di atas, jika pimpinan DEKOPIN berada di tangan orang-orang yang benar, dalam arti selain memiliki pemahaman mengenai nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, juga memiliki kompetensi dan integritas, dan dengan “rendah hati” mau belajar dari keberhasilan koperasi-koperasi negeri jiran, bisa diharapkan koperasi akan mengalami kemajuan.

Dari negeri jiran ini kita dapat belajar tentang pentingnya pendidikan sebagai basis keanggotaan yang aktif sebagai pemilik maupun sebagai pelanggan koperasi, tentang profesionalisme dalam mengelola usaha sehingga menjadi koperasi yang mandiri dari segi ekonomi, serta tentang bagaimana gerakan koperasi membangun sinergi dengan pemerintah dalam merumuskan strategi bersama dalam pembangunan koperasi.

Tetapi jika jatuh ke tangan orang-orang yang semata ingin menjadikan organisasi tunggal gerakan koperasi sebagai basis kepentingan pribadi/kelompoknya, termasuk sebagai panggung politiknya, ya jangan harap koperasi di Indonesia akan mengalami kemajuan. Sayangnya kondisi terakhir inilah yang masih terjadi pada saat ini.

(Penulis adalah pengamat perkoperasian, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Pusat Informasi Perkoperasiaan Dekopin)

Exit mobile version