Indeks demokrasi di level dunia perjelas soal kualitas demokrasi Indonesia yang kian tergerus. The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis data kualitas demokrasi berbasis lima indikator. Yakni pluralisme dan proses pemilihan umum, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Minjam istilah Rizal Ramli, menjadi demokrasi kriminal. Hasil senada juga diperlihatkan Indeks Demokrasi Kepemiluan (Electoral Democracy Index).
Di masa lalu surplus infrastruktur yang minim manfaat. Demokrasi nyungsep sepanjang 10 tahun. Sebut saja dari ambisi memperpanjang jabatan jadi tiga periode, lemahkan lembaga-lembaga pengontrol eksekutif, hingga manipulasi instrumen negara (parcok dan ASN) untuk membangun dinasti politik ‘mazhab’ demokrasi.
Sepuluh tahun waktu berlalu. “Kita harus menyesal pernah memilih yang terburuk. Bangsa ini harus anti kebohongan. Harus sensitif terhadap kemungkinan penipuan penguasa,” ujar Ryaas Rasyid. Ia menduga, ini mahakarya sindikat besar, konspirasi, yang bekerja untuk menempatkannya secara berjenjang hingga jadi RI-1.
Rakyat kini mewarisi beban mahaberat. Beban utang LN yang 34,08% dari PDB, kata Ichsanuddin Noorsy, sudah membahayakan perekonomian negara. Perumusan dan revisi UU strategis seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, UU ITE, UU DKJ justru menjadi sumber masalah lingkungan dan pelanggaran HAM. Plus residu berupa pasukan berani mati dan sejenisnya, yang keberadaannya tak pernah dibantah. Bukankah modus seperti ini meng-engineer potensi kerusuhan?
Dalam sebuah catatan kritis dielaborasi 218 dosa rezim pewaris di sektor agraria. Antaranya, pelanggaran Pasal 33 UUD 45 via UU Ciptaker; reforma agraria yang menyesatkan: panggil investor dan permudah perampasan tanah rakyat; langgar putusan MK yang batasi pemberian HGU hingga 90 tahun dan HGB hingga 90 tahun menjadi 190 tahun dan 160 tahun; perampasan tanah untuk PSN (571 ribu ha tanah di 134 lokasi dan 1,86 juta ha untuk proyek food estate di 11 provinsi); monopoli tanah oleh swasta; represi terhadap masyarakat dalam konflik agraria, monopoli pangan oleh mafia pangan.
Di atas beban itu diboboti dengan segepok ambisi, lewat kampanye bersama wakilnya, berupa katrol tax ratio jadi 23% yang pada 2022 baru 10,41% dari PDB; buka 19 juta lapangan kerja; pertumbuhan ekonomi 6%-7%; tekan kemiskinan di bawah 5% dari saat ini 9,36%; makan bergizi gratis untuk 70,5 juta pelajar dan balita yang anggarannya Rp471 triliun=14,16% dari belanja negara.
Hasil 100-an hari kerja eksekutif di mata aliansi civil society adalah gelap. Amat kental tren ‘keberlanjutan’ dari obsesi terbalik yang dihajatkan dalam Paradoks Indonesia, karya terpenting Prabowo Subianto sebagai GBHN dalam kampanye 2024. Dengan kata lain, sudah saatnya 200-an juta rakyat serentak meneriakkan, “Hidup paradoks ahli waris!”●
Salam,
Irsyad Muchtar