hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

BBM Naik, Dilema Pemerintah dan Beban Ekonomi Rakyat

Artikel ini ditulis oleh Yayat Hidayat

Bangsa kita baru saja memperingati HUT ke-77 RI. Masih terasa suka cita rakyat di seluruh tanah air merayakannya. Mereka bergotong-royong menghias lingkungan, memasang bendera merah putih, gapura, dan umbul-umbul.

Berbagai lomba digelar dan menjadi tontonan yang menghibur di hari itu. Rakyat bereuforia merayakannya di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Sejak Covid-19 menimpa, beban ekonomi rakyat semakin berat. Banyak orang kehilangan pekerjaan lantaran perusahaan tempat mereka bekerja ditutup. Meski begitu, jiwa nasionalisme rakyat terlihat. Mereka seolah tak punya beban ekonomi, larut dalam kegembiraan di hari kemerdekaan.

Ada yang bertanya memang kita sudah merdeka? Masih banyak yang kelaparan. Lapangan pekerjaan sulit. Masih banyak pula rakyat yang mengais rezeki di tong sampah sebagai pemulung, mengamen, mengemis dengan berpeluh di terik matahari agar kebutuhan hidup terpenuhi dan biaya sekolah anak bisa terbayar.

Pada Sabtu siang, 3 September 2022, mereka hanya bisa pasrah ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Alhasil penderitaan rakyat kian bertambah. Adakah yang salah dari para pengelola negeri ini sehingga rakyat harus menanggung beban hidup yang berat? Padahal, the founding fathers berjuang agar rakyat sejahtera menikmati hasil kekayaan alam Indonesia yang melimpah.

Pemerintah beralasan kenaikan BBM menyusul tingginya harga minyak mentah dunia. Kenaikan Pertalite dari Rp7.650 jadi Rp10.000 per liter, dan Solar dari Rp5.150 jadi Rp6.800 per liter memang pahit. Tapi keputusan itu perlu diambil, karena bisa berimbas pada subsidi BBM yang akan meningkat tajam. APBN menanggung subsidi dan kompensasi energi yang cukup besar. Padahal, kebutuhan negara bukan pada BBM saja. Ada sektor lain yang juga perlu dibiayai seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Kenaikan BBM tentu memicu kenaikan harga kebutuhan pokok rumah tangga. Sebab hukum pasar berlaku. Ongkos transportasi dan angkut barang pun ikut naik. Untuk mengurangi beban ekonomi rakyat kurang mampu, pemerintah memberi bantuan langsung tunai (BLT). Tapi bansos ini dinilai tidak merata karena rakyat menengah juga terkena dampaknya.

Pemerintah memang dilematis. Jika tidak menaikkan harga BBM, maka belanja subsidi energi mengalami lonjakan dalam APBN 2022. Dari semula Rp152 triliun menjadi Rp698 triliun. ”Jadi tahun ini subsidi dan kompensasi Rp502,4 triliun, bahkan bisa melonjak di atas Rp690 triliun. Ini kenaikan yang sungguh dramatis,” tegas Menkeu Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR lalu.

Lonjakan awal terjadi pertengahan 2022, perang Rusia-Ukraina membawa harga minyak dunia melambung dari US$ 60 per barel menembus US$ 139 per barel.

Pertamina dan PT PLN berupaya menahan kenaikan harga BBM dalam dua tahun terakhir, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi Rp293,5 triliun. Keputusan itu disepakati pemerintah dan DPR RI. Hanya saja asumsi pemerintah meleset. Harga minyak dunia masih tinggi dan rupiah juga alami pelemahan akibat gonjang-ganjing situasi global. Sementara konsumsi BBM meningkat drastis seiring dengan pelonggaran mobilitas masyarakat.

Dalam nota keuangan RAPBN 2023, 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan ekonomi dunia semakin sulit. Sehingga perlu beberapa langkah agar kita mampu bertahan. Sebagai rakyat, sepertinya kita masih harus bersabar menunggu Indonesia menjadi negeri yang dicita-citakan. Negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun ghofur. Negeri yang makmur serta damai, rakyatnya sejahtera dan senantiasa bersyukur kepada Rabb Yang Maha Pengampun. Aamin. Merdeka!

pasang iklan di sini